Minggu, 30 Oktober 2011

POLITIK DAN PERPECAHAN UMAT ISLAM: LATAR BELAKANG SEJARAH

Posted by ardian_yukKemarii 03.33, under | No comments

Sejarah dan Politik

            Hampir semua sejarah bangsa-bangsa yang ditulis di muka bumi ini menceritakan  tentang raja-raja atau pemimpin yang berkuasa. Dalam kesusasteraan bahasa Arab, misalnya, Ibnu Jarir At-Tabari (wafat th. 310 H) menamakan karya besarnya dalam bidang sejarah dengan Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah rasul-rasul dan raja-raja). Jalaluddin Al-Suyuti (wafat th. 911 H) menulis buku khusus tentang khalifah-khalifah umat Islam dengan nama Tarikh al-Khulafa' (Sejarah khalifah-khalifah). Ada yang mengatakan bahwa sejarah Nabi yang kita kenal dengan istilah Sirah Nabawiyyah pada mulanya ditulis dalam gaya cerita-cerita Parsi. Kata sirah itu digunapakai untuk menamakan kumpulan cerita mengenai tentang raja-raja Parsi. [1]

        Dalam kesusasteraan bahasa Melayu, terdapat buku Sulalat al-Salatin yang kalau kita terjemahkan secara harfiah membawa maksud keturunan atau salsilah raja-raja (Sulalat  artinya:  garis keturunan, salsilah, dan anak cucu. Salatin bentuk jamak dari Sultan- bermakna: raja-raja). Buku itu kini dinamakan dengan Sejarah Melayu, The Malay Annals.

Bila kita menyalin nama buku-buku sejarah yang ditulis oleh bangsa lain, maka ceritanya akan menjadi panjang. Tetapi pada umumnya buku-buku tersebut memuatkan kisah-kisah mengenai raja-raja dan kebijaksanaan politik yang mereka ambil. Maka tidaklah menghairankan sekiranya ada yang berkata: Sejarah adalah catatan tentang politik masa lalu, sedangkan politik masa kini akan menjadi sejarah di masa hadapan. Dan para pemimpin negara, reka bentuk politik yang menentukan corak perjalanan pemerintahan disebut orang dengan pelaku sejarah.

Masyarakat kita telah terbiasa menggunakan istilah Sejarah Islam untuk menyebut cerita-cerita tentang kerajaan-kerajaan yang dibangunkan oleh masyarakat Islam di masa lalu, dan kerajaan yang dibangunkan oleh umat Islam itu disebut  Kerajaan Islam. Sebenarnya penggunaan kedua-dua istilah tersebut adalah kurang tepat . Ini adalah kerana : Islam merupakan agama yang diwahyukan oleh Allah swt. kepada Rasulullah saw. yang telah sempurna sejak Rasul wafat, sedangkan kerajaan-kerajaan tersebut merupakan hasil daripada usaha manusia yang memiliki banyak kekurangan. Islam merupakan kebenaran yang mutlak, sedangkan kerajaan-kerajaan yang dibangunkan oleh umat Islam itu tidak selalunya benar. Islam dijamin oleh Allah swt. sehingga Hari Kiamat, sedangkan kerajaan-kerajaan tersebut tegak dan runtuh silih berganti. Jadi istilah yang lebih tepat adalah Sejarah Umat Islam dan Kerajaan Umat Islam.

Perpecahan Umat Islam

Jika sejarah adalah cerita tentang politik di masa lalu sebagaimana yang telah dijelaskan di atas sekiranya kalau pandangan tersebut kita terima maka sejarah umat Islam adalah sejarah perpecahan. Mungkin terasa agak keterlaluan jika dikatakan sedemikian. Tetapi, masalah politik merupakan sumber perpecahan umat Islam yang terbesar, sehingga Al-Syahrastani (wafat th. 548 H) dalam bukunya Al-Milal wa al-Nihal mengatakan: wa azhamu khilafin bayna al-ummah khilafu al-immah, iz ma sulla sayfun fi al-Islam ala qaidah diniyyah misla ma sulla ala al-immah fi kulli zaman. ( Dan perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan mengenai imamah (kepemimpinan), kerana tidak pernah pedang dihunus dalam Islam dengan alasan agama sebagaimana (sesering) dihunus karena imamah pada setiap zaman). [2]

Masalah imamah adalah masalah politik, masalah menentukan siapa yang akan memimpin umat. Walaupun sebenarnya perselisihan mengenai imamah itu sudah bermula sejak Rasulullah s.a.w. wafat, terutama antara golongan Muhajirin dan golongan Anshar, tetapi ianya dapat diselesaikan dengan damai, iaitu dengan mengangkat  Abu Bakar menjadi khalifah. Sejak terbunuhnya Usman bin Affan (tahun 35 H) sehingga ke hari ini umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya tersendiri dan tidak mengakui pemimpin dari kelompok lain. Terbunuhnya Usman itu sendiri sebenarnya disebabkan oleh masalah politik juga. Kelompok pemberontak yang tidak senang dengan  para gabenor yang diangkat oleh Usman dan kebijaksanaannya menuntut agar khalifah ketiga itu meletakkan jawatan, tetapi Usman enggan melakukannya. Keengganan Usman melakukan tuntutan kelompok tersebut membuat mereka marah dan akhirnya Usman terbunuh di rumah ketika sedang membaca Al-Qur`an. [3]

Kematian Usman menjadi titik tolak bagi perpecahan umat Islam. Al-Baghdadi (wafat th. 429 H) dalam bukunya Al-Farq bayna al-Firaq mengatakan: Tsumma ikhtalafu bada qatlihi fi qotilihi wa khozilihi ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza . (Kemudian mereka (para shahabat) berselisih setelah terbunuhnya (Usman) dalam masalah orang-orang yang telah membunuhnya dan orang-orang yang membiarkannya terbunuh, perselisihan yang kekal (berbekas) sampai hari (zaman)kita ini). [4]

Perang saudara pun mulai bersemangat.  Perang pertama yang terjadi adalah perang unta (perang jamal) tahun 36H. Antara kelompok yang dipimpin oleh Aisyah r.a, isteri Rasul saw,  yang menuntut bela atas kematian Usman, dengan kelompok Ali bin Abi Talib yang diangkat menjadi khalifah sesudah Usman. Kelompok pemberontak setelah membunuh Usman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya kelompok Aisyah dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap mereka. Tetapi Ali tidak dapat melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan krisis politik yang berpanjangan.

Masalah politik merupakan punca yang disebut dengan al-Fitnah al-Kubra (bencana besar) di kalangan umat Islam. Umat Islam berpecah kepada tiga kelompok:
Pertama: kelompok Ali, kedua: kelompok Muawiyah, dan ketiga: kelompok moderat/neutral yang tidak memihak kepada salah satu dari dua kelompok tersebut.  Dua kelompok pertama memiliki pengikut yang banyak, sedangkan kelompok moderat kerana tidak ikut campur dalam masalah politik maka jumlahnya tidak diketahui, tetapi kelompok ini merupakan majoriti umat, di antara para sahabat yang bergabung di dalam kelompok moderat ini adalah: Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Saad bin Malik, Saad bin Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan lain-lain. [5]

Pertentangan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan membawa kepada terjadinya perang Siffin. Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka mengajak untuk bertahkim (arbitrate) bagi menyelesaikan konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) dilaksanakan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash (wafat th.43 H) dan kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari (wafat th. 44 H). Kedua-duanya  bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing . Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan jujur. Amru membuat tipuan terhadap Abu Musa dengan mengatakan bahawa konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh dua orang, iaitu Ali dan Muawiyah, maka untuk menciptakan perdamaian kedua orang itu harus dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru. Tipuan itu berhasil. Amru memberikan kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar; Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu Amru naik mimbar pula, ia menerima pemecatan Ali dan kerana Ali sudah dipecat khalifah tinggal seorang sahaja lagi, iaitu Muawiyahia menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam seluruhnya. Tentu saja kelompok Ali tidak puas hati.

Perundingan tersebut bukan saja tidak menyelesaikan konflik, tetapi malah menimbulkan kelompok baru. Kelompok Ali terpecah menjadi dua; Pertama, yang tetap setia kepadanya (belakang hari disebut syiah); Kedua, yang memberontak, keluar dari kelompok Ali dan berbalik menjadi musuhnya, karena tidak puas dengan keputusan Ali untuk mengikuti perundingan diatas (kelompok ini disebut Khawarij). Kelompok ini pada mulanya memaksa Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah Ali menerima tahkim mereka menolaknya; Mereka memakai semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata). [6]

Kini kelompok yang bertikai dalam masalah politik menjadi tiga; kelompok Muawiyah, kelompok Ali dan kelompok Khawarij. Kelompok terakhir ini mengkafirkan kelompok Pertama dan Kedua, mereka menghalalkan darah orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka memerangi kelompok Pertama dan Kedua, mereka mengirim utusan rahsia untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash. Muawiyah dan Amru selamat dari pembunuhan, sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam pada tahun 40 H.

Kematian Ali membuat pengikutnya kesedihan. Hasan, Putra Ali pertama, diangkat menjadi khalifah menggantikan ayahnya. Hasan melihat bahwa pertentangan politik ini hanya akan merugikan umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu dia mengadakan perdamaian dengan Muawiyah, untuk menjaga agar darah kaum Muslimin tidak tertumpah lebih banyak lagi. Hasan meletakkan jawatan pada tahun 41 H dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Hasan meminta agar Muawiyah menyerahkan urusan khilafah kepada kaum Muslimin bila ia meninggal nanti. Hasan juga meminta agar kelompok Muawiyah berhenti menghina Ali di dalam khutbah-khutbahnya.[7] Gerakan perdamaian ini disokong oleh masyarakat  Islam, sehingga tahun itu disebut sebagai Tahun Persatuan ('am al-Jama'ah). Tetapi perjanjian tersebut tidak ditepati kemudiannya. Hasan meninggal di Madinah kerana terkena racun pada tahun 50 H. Kelompok Syiah menabalkan Husein, putra Ali kedua, menjadi khalifah.

Sebelum Muawiyah meninggal (tahun 60 H) ia menabalkan putranya Yazid sebagai putra Mahkota untuk menggantikannya. Hal itu membuatkan bukan saja kelompok Syiah marah  tetapi juga seluruh kaum Muslimin; kerana jelas melanggar perjanjian damai yang telah dipersetujui dengan Hasan tempo hari. Namun begitu, kaum Muslimin tidak dapat berbuat apa-apa, kerana Muawiyah memerintah dengan kuku besi. Di zaman Yazid (memerintah tahun 60 s/d 64 H) permusuhan kelompok Umawi terhadap Syiah semakin menjadi-jadi. Kelompok Syiah diperangi habis-habisan. Husein terbunuh di Karbala (10 Muharram th. 61 H) dalam pertempuran yang tidak seimbang. Kepalanya dipenggal dan dibawa ke hadapan Yazid sebagai persembahan. Bani Umayah tampil menjadi kekuatan yang tidak dapat ditandingi.

Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah

Penguasa demi penguasa di kalangan Bani Umayah terus berganti, tetapi pertentangan di antara kedua kelompok tadi tidak juga reda. Ali dan pengikutnya terus dihina di setiap mimbar. Kelompok Syiah membalas dan menghina Kelompok Bani Umayah. Sementara itu kelompok Khawarij tetap melaksanakan kegiatan mereka. Di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima Bani Umayah, memerintah tahun 65 s/d 86 H) usaha untuk membina persatuan di buat semula. Abdul Malik walaupun menghadapi berbagai pemberontakan, dia berusaha mempersatukan umat Islam yang sudah berpecah belah kepada berbagai kelompok dan puak, khususnya setelah Abdullah bin Zubeir (khalifah tandingan di Mekah) terbunuh pada tahun 73 H. Dia menggunakan slogan Nahnu Jama'ah Wahidah Tahta Rayah Dinillah (kita semua adalah satu jamaah dibawah naungan bendera agama Allah). Abdul Malik juga mengadakan konsep tarbi', iaitu dengan menyebut nama empat khalifah:Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali di dalam khutbah-khutbah. Konsep ini merupakan kaedah untuk mempersatukan umat Islam juga. Sebelum ini kelompok Umawi hanya mengakui Abu Bakar, Umar, Usman dan Muawiyah, tetapi mereka tidak mengakui Ali. Manakala Kelompok Khawarij hanya mengakui Abu Bakar, Umar; sedangkan kelompok Syiah hanya mengakui Ali saja dengan alasan masing-masing. Setiap kelompok menghina kelompok lain di mimbar-mimbar dan mendoakan keselamatan bagi pemimpin mereka. Kelompok Umawi merelakan nama Muawiyah tidak disebut dalam tarbi itu, sebagai pengorbanan dari mereka demi persatuan umat.

Untuk memperkuatkan usaha persatuan tersebut, maka seluruh umat Islam diseru agar menjadikan Rasul s.a.w sebagai satu rujukan yang unggul.  Kerana Rasul s.a.w sudah wafat, maka sunnah beliaulah yang mesti dijadikan sebagai rujukan. Abdul Malik mendapat sokongan dari masyarakat  Islam. Di antara tokoh kelompok Moderat yang masih hidup dan menyokong Abdul Malik adalah Ibnu Umar (wafat th. 74 H). Umat Islam yang menyokong persatuan ini disebut Ahlu Al-Jama'ah Wa al-Sunnah, kemudian  ada proses pembalikan sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin sehingga menjadi Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah. [8]

Jadi, baik konsep tarbi' yang sampai hari ini sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin --demikian juga dengan mendo'akan pemimpin yang berkuasa-- pada khutbah-khutbah Jumaat,  mahupun istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sebenarnya lahir dari proses sejarah yang bertujuan untuk mempersatukan umat yang sudah berpecah belah.  Oleh kerana itu, sering kita terjumpa bahawa kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah sentiasa berusaha untuk  mempertemukan aliran pemikiran berbagai kelompok yang saling bertentangan.

Tetapi usaha untuk mempersatukan umat itu tidaklah berhasil sebagaimana yang diharapkan, persaingan antara kelompok tetap juga berjalan. Kelompok Syiah, misalnya, tetap tidak dapat bergabung dalam persatuan itu; sebab menurut keyakinan mereka hak untuk memegang jawatan khalifah hanyalah untuk Ali dan keturunannya. Kerana jamaah tadi merupakan inisiatif dari kelompok Umawi yang sememangnya adalah musuh politik mereka, itulah sebabnya kelompok Syiah sampai  hari ini tetap tidak bersimpati kepada kaum Muslimin dari golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah. Mereka menganggap Ahlussunnah Wal-Jamaah hanyalah penyokong dan merupakan tali barut dari kelompok Umawi. Tanpaknya dendam kelompok syi'ah terhadap kelompok umawi tidak kesampaian, kerana mereka sudah punah ditelan zaman; jadi golongan Ahlus-Sunnah Wal-jama'ahlah yang menerima padahnya.

Belajar dari Sejarah

Masalah politik telah menyebabkan umat Islam berpecah-belah  dalam berbagai kelompok dan puak-puak. Perpecahan politik juga terpengaruh kepada perselisihan di dalam bidang Akidah, Syariah, dan tidak ketinggalan juga kepada perkembangan Hadith, Tafsir, Tasawuf, dan sebagainya. Sejauh mana pengaruhnya terhadap bidang-bidang tersebut akan kita bahas pada kesempatan lain. Tetapi sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa perpecahan politik umat Islam di Malaysia ini, sehingga sebahagian menghina yang lain di mimbar-mimbar bahkan ada yang mengkafirkan sesama Muslim, sebenarnya hanyalah proses pengulangan sejarah yang tidak perlu dilakukan.

Umat Islam di negara ini perlu menyedari bahwa pertengkaran itu hina. Perbezaan organisasi politik dan keagamaan hendaklah tidak dijadikan untuk saling menghina dan memusuhi, tetapi dimanfaatkan sebagai sarana untuk berlumba-lumba bagi membuat kebajikan demi kemajuan umat dan negara (Q.S.2:148). Apa yang akan dilihat oleh Allah swt bukanlah organisasi yang kita miliki, tetapi adalah aktiviti (amal) yang kita lakukan (Q.S.9:105). Rasul bersabda: Sebaik-baik manusia adalah orang yang memberi manfaat bagi orang lain. Tentangan yang akan dihadapi di masa hadapan sangatlah berat. Kerana itu persatuan dan kerjasama (amal jamai) perlu diwujudkan. Persatuan yang dimaksudkan tidak bererti membubarkan organisasi-organisasi yang sudah ada, tetapi mesti ada perancangan bersama yang akan dilakukan oleh semua pihak dan setiap kelompok berusaha mewujudkannya untuk kemajuan umat. Oleh kerana itu perlu ada dialog (musyawarah) antara golongan untuk membicarakan agenda bersama tadi.

Kerana pertikaian politik di kalangan umat Islam negara ini sudah meruncing, maka harus ada kelompok Moderat yang mempunyai inisiatif untuk mengadakan dialog tersebut. Kelompok Moderat ini hendaknya dipelopori oleh para pemuda dari berbagai organisasi. Ini adalah disebabkan masa depan bangsa berada di tangan para pemuda hari ini. Wallahu alam.

Beberapa Catatan Politik Masa Kini

Posted by ardian_yukKemarii 03.31, under | No comments

Beberapa Catatan Politik Masa Kini
Oleh Sabam Siagian
Krisis finansial global yang berawal di Amerika Serikat dengan terguncangnya pasar modal di Wall Street, New York, rupanya berimbas juga ke Indonesia. Akibatnya, beraneka-ragam. Yang amat menarik ialah, krisis finansial itu telah mencairkan pola kekuasaan di Indonesia yang dimiliki para tokoh politik yang sekaligus juga tokoh utama bisnis. Bagaimana peta perimbangan politik yang baru, agaknya hal itu memerlukan waktu sebelum situasinya mengental. Situasi kondisi politik Indonesia maupun tingkat atas, maupun di lapisan masyarakat yang berpendapatan serba cukupan cenderung encer.
Bakrie & Brothers yang menaungi sejumlah perusahaan di bidang pertambangan, perkebunan, telekomunikasi, gas & minyak, real estat dengan tokoh utamanya Aburizal Bakrie (resminya, non-aktif karena menjabat sebagai Menko Kesejahteraan Rakyat) amat terpukul. Apa persoalan sebenarnya yang dihadapi mereka, terlalu teknis untuk diuraikan di sini.
Namun, sampai tahap tertentu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dapat diyakinkan bahwa sebagai kekuatan nasional, kelompok perusahaan ini perlu diselamatkan. Tema “nasional” atau jelasnya “pribumi” pada saat krisis rupanya berguna dilontarkan untuk menjadi perhatian bangsa.
Akibat politiknya yang interesan ditelusuri. Kalau sebelumnya adalah rahasia umum bahwa Partai Golkar secara de facto dikuasai oleh Bung Ical (Aburizal Bakrie), karena daya mampu finansialnya yang amat hebat, maka sekarang setelah Bakrie & Brothers menghadapi persoalan serius, bobot politiknya telah berkurang. Karena itu, keterangan Firman Soebagyo, Ketua Harian Pengendalian dan Pemenangan Pemilu Pusat Partai Golkar, kepada media sungguh menarik. Dengan perumusan sopan, ia kemukakan bahwa “Dapat dipahami jika ada kawan yang menghadapi masalah”. Tapi, dia, tetap optimistis bahwa Aburizal Bakrie sebagai kader Partai Golkar akan tetap berusaha membantu pendanaan partai.
Dikabarkan, ada beberapa tokoh pemimpin partai lainnya yang langsung atau tidak langsung terimbas oleh krisis finansial, antara lain dengan anjloknya saham-saham yang mereka miliki. Mungkin karena musibah finansial itu suara tokoh-tokoh pemimpin partai itu akhir-akhir ini tidak begitu santer lagi.
*
Secara teoritis, perkembangan akhir-akhir ini memperkuat posisi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Karena, posisi mereka masing-masing di puncak piramida birokrasi dan struktur kekuasaan, mereka dapat dikatakan berada di atas angin. Terutama, Jusuf Kalla boleh merasa beruntung, karena dengan goyahnya landasan finansial Aburizal Bakrie, maka posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar menjadi mantap.
Memang ada beberapa tokoh pemimpin potensial di jajaran Golkar, seperti Agung Laksono (Ketua DPR) dan Akbar Tanjung. Namun, mereka agaknya berambisi sampai calon wakil presiden saja. Di sini, kemungkinan akan timbul persoalan bagi Jusuf Kalla nantinya. Kalau dia menyatakan bersedia sekali lagi sebagai calon wakil presiden bersama Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden pada pencalonan 2009, bagaimana reaksi intern partai Golkar? Suara-suara yang menggerutu, kenapa sebagai partai besar, lebih besar dari Partai Demokrat, yang menjadi landasan politik SBY, Jusuf Kalla hanya berani tampil sebagai calon wapres, sudah mulai terdengar.
Namun, jelas kiranya, menjelang akhir November 2008 ini, calon-calon presiden yang secara realistis, masih merupakan faktor politik yang konkret hanya dua tokoh : Soesilo Bambang Yudhoyono, sekarang masih Presiden RI, dan Megawati Soekarno putri, mantan presiden, sekarang Ketua Umum PDI Perjuangan.
*
Dalam kerangka situasi masa kini, apakah pernyataan Sultan Hamengku Buwono X dari Yogyakarta, bahwa dia siap dan bersedia dicalonkan sebagai presiden dapat dianggap sebagai perkembangan yang relevan? Sultan tampil di hadapan rakyatnya di alun-alun depan kraton pada 28 Oktober lalu dalam sebuah ritual yang disebut “Pisowanan Ageng”, dan menyatakan kesediaannya. Saya teringat akan cerita ayahnya, Hamengku Buwono IX, bagaimana pada saat saat penting dan genting dalam hidupnya beliau menerima “bisikan gaib”. “Percaya atau tidak, terserah Anda, Saya ini didikan Barat, tapi saya mengalaminya dan saya patuh”, demikian Sultan Hamengku Buwono IX. Mungkin saja HB X menerima “bisikan gaib” dan menurut salah seorang teman yang hadir, hari itu hujan tidak jadi turun sehingga rapat umum berlangsung lancar. Namun, dorongan gaib itu janganlah membuat HB X bersikap pasif. Dia harus kembangkan tekad, visi, organisasi, dan program konkret untuk berperan sebagai calon presiden yang serius.
Undang-Undang Pemilihan Presiden 2008 memang merupakan persyaratan yang berat : partai atau gabungan partai hanya dapat mengajukan pasangan kandidat jika memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional.
Ada beberapa cara untuk mengatasinya. Pertama, krisis finansial dunia yang juga berimbas ke Indonesia telah mencairkan peta politik. Jangan terima begitu saja asumsi-asumsi politik yang dikemukakan para pakar. Kedua, kalau HB X memang serius mencalonkan diri sebagai presiden, maka terapkanlah organisasi kampanye Barack Obama. Ia telah memaksimalkan daya mampu teknologi informasi dengan mengerahkan beratus ribu tenaga sukarelawan. Tentunya, penerapannya perlu disesuaikan dengan kondisi budaya Indonesia.
Dalam waktu beberapa bulan ini, HB X harus menyusun melalui teknologi informasi, barisan pendukung yang lintas generasi, lintas tingkat pendapatan atau tingkat sosial, dan lintas partai. Bagaimana nantinya, sampai ada partai atau gabungan partai mendukung pencalonannya sesuai persyaratan undang-undang akan amat tergantung sampai di mana beliau berhasil menyusun suatu kekuatan konkrit di masyarakat. Juga penting untuk dipertimbangkan, jika HB X memang serius menjadi calon presiden RI untuk minta bantuan sejumlah kecil para pakar ulung di beberapa bidang yang urgen : mengatasi kemiskinan, kepastian hukum untuk menjamin pluralisme, sistem finansial dan perbankan yang sehat, perbaikan infrastruktur. Tim pakar inilah bertugas untuk menyusun bahan-bahan secara cepat dan padat selama kampanye kepada calon presiden HB X.
HB X tidak usah segan-segan dalam kampanyenya menunjuk pada beberapa kelemahan fatal pada kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sehingga banyak persoalan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang sebenarnya tidak usah terjadi.Kalau Hamengku Buwono X memang “all out” dalam perjuangannya merebut kursi Presiden RI tahun 2009, maka dapat diperkirakan dinamika politik Indonesia tahun depan akan berlangsung secara kritis dan kreatif produktif.

Kamis, 27 Oktober 2011

Kekuatan Ideologi Politik Di Pentas Sejarah Pergerakan Bangsa Indonesia

Posted by ardian_yukKemarii 04.28, under | No comments

Kekuatan Ideologi Politik Di Pentas Sejarah Pergerakan Bangsa Indonesia

Ideologi berisi tatanan nilai yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pedoman untuk menjalankan kehidupan bersama dalam rangka meraih harapan-harapan yang dicita-citakan bersama. Tatanan nilai yang kemudian membentuk ideologi tersebut dapat berasal dari adat istiadat dan dapat pula bersumber dari suatu ajaran agama, atau merupakan gabungan keduanya. Fungsi dari ideologi ini adalah sebagai referensi konseptual yang memberikan koherensi pada aksi politik. Ideologi memainkan peranan dalam melekatkan hubungan pola pikir dan tingkah laku. Political Ideology is an aplication of particular moral preceptions to collectivities.
Ideologi politik mencakup (1) perilaku yang didasari sebuah nilai atau norma yang kemudian mempengaruhi pelaku-pelaku politik dalam ekspresi-ekspesi ideologisnya, (2) kegiatan dalam aspirasi sangat berpengaruh pada sikap dan tindakan pelaku politik untuk mempengaruhi para penguasa kebijakan dalam negara dan (3) untuk mempengaruhi rakyat tentang nilai-nilai agama sebagai orientasi utama dalam setiap bidang kehidupan.
Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan. Teori komunis Karl Marx, Friedrich Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada abad 20. Contoh ideologi lainnya termasuk: anarkisme, kapitalisme, komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, demokrasi kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial.
Apakah pencetus ideologi politik ataukah pengikut ideologi secara sadar akan melakukan suatu aksi atau movement/gerakan baik dalam hal penyebaran ide-ide sampai pada gerakan yang bersifat politik yaitu meraih kekuasaan dalam rangka mengatur kekuasaan sesuai dengan ideology yang dianutnya. Inilah yang kemudian suatu ideologi menjadi motor penggerak suatu gerakan atau disebut sebagai gerakan politik. Suatu gerakan politik merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik. Tujuan gerakan politik sifatnya fundamental (mendasar) dan ideologis.
Merujuk gagasan dari presiden pertama Indonesia, Soekarno, setidaknya terdapat tiga ideologi politik yang mendominasi masyarakat Indonesia, yaitu Nasionalis, Islam dan Marxis. Maka pada perkembangan sejarah pergerakan Bangsa Indonesia, identitas ideologi politik lahir dan berkembang seiring dengan lahir dan berkembangnya organisasi modern yang menjadi penggerak bagi perjuangan melepaskan belengguh kolonialisasi Belanda, sehingga organisasi politik modern yang terlahir tidak bisa dipisahkan dengan ideologi politik yang menjadi ciri identitas politiknya. Kelahiran Syarekat Islam (1911/1912) memiliki corak identitas politik Islam mengusung ideologi Islam, Partai Komunis Indonesia/PKI (1920) secara tegas mengusung ideologi Komunisme sementara ideologi Nasionalisme lahir dan berkembang setelah berdirinya Partai Nasionalis Indonesia (PNI) tahun 1927.
Kalau berbicara pada tataran hal yang menjadi motivasi dan orientasi dari setiap gerakan politik yang meskipun memiliki perbedaan ideologi, secara ”dhohiriyah” lahirnya organisasi politik pada abad ke XX memiliki hasrat keinginan yang sama yaitu berjuang demi sebuah kemerdekaan, terbebas dari penjajahan Belanda.
Adanya hasrat yang sama ini mendorong beberapa komponen pejuang kemerdekaan untuk mempersatukan kekuatan ideologi politik yang berkembang saat itu. Upaya untuk mengunifikasi ideologi Nasionalis, Islam dan Marxisme terekam pada tulisan Soekarno dalam Suluh Indonesia Muda di tahun 1926 dengan merasionalisasikan bahwa Nasionalisme, Islam dan Marxisme memiliki kepentingan yang sama yaitu melawan kapitalisme dan imperialisme Barat. Sebelumnya, Tan Malaka berbicara agar Komunisme (sebagai manifestasi pemikiran Marx oleh Lenin) tidak memusuhi pan-Islamisme, karena adanya kesamaan visi dalam melakukan perlawanan terhadap kapitalis. Ucapan seorang Marxist Indonesia tersebut disampaikan pada Kongres Keempat Komunis Internasional (Comintern) pada 12 November 1922.
Perbedaan garis ideologi yang menjadi prinsip dasar perjuangan tidak serta merta dengan adanya kesamaan misi perjuangan, unifikasi yang digagas Soekarno atau hand together yang diinginkan Tan Malaka itu terwujud. Inilah kenapa sejarah pada akhirnya tidak ”linier” dan ”sebangun”. Sejarah tidak menjadi satu kesatuan aksi dan gerak karena memang kenyataan menunjukan bahwa garis ideologi politik yang berbeda melahirkan aksi-aksi yang bersifat politik pun berbeda. Sehingga jejak sejarah yang terekam dikemudian hari menunjukan jejak sejarah yang ”komplek”, ”tidak linier”, dan ”tidak berdiri sendiri”.
Bila kita menggeneralisasikan sejarah bangsa Indonesia pada setengah abad pertama di abad XX, tanpa mempertimbangkan pada gerak ideologi politik yang menjadi motor pengerak perjuangan maka yang hadir sekarang adalah sejarah pergerakan rakyat indonesia. Tetapi apabila kita memilah pergerakan rakyat Indonesia itu pada tiga ideologi yang menjadi kekuatan politik bangsa Indonesia maka secara obyektif akan lahir tiga mazhab sejarah yaitu :
(1). Sejarah Pergerakan Islam Indonesia
(2). Sejarah Pergerakan Komunis Indonesia
(3). Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.

Terlepas dari berbagai analisis, interpretasi, presepsi ataupun opini atas sejarah bangsa Indonesia dalam periode masa kapanpun terkhusus masa abad XX, fakta sejarah adalah sebuah realitas tak terbantahkan, tak akan bisa dihapus, tak bisa dilurus-lurus atau dibengkok-bekok karena fakta adalah fakta. Sementara analisis, interpretasi, presepsi ataupun opini yang membangun atau merekontruksi sejarah berdasar fakta sejarah dan melahirkan apa yang disebut tulisan sejarah adalah kajian, wawasan, dan pemahaman sejarah yang terus menerus mengalami pembaharuan dan pembaruan seiring dengan perkembangan “ilmu sejarah” yang menjadi alat untuk menjelaskan sejarah.
Lahirnya mazhab-mazhab sejarah yang memberikan “aksentuasi” penulisan sejarah pada salah satu ideologi politik yang lahir dan tumbuh di tanah air Indonesia apakah itu Islam, Komunis ataupun Nasionalis adalah kekayaan sejarah bangsa Indonesia. Hanya sayang hambatan terbesar di Indonesia adalah rapuhnya pemahaman mengenai arti penting sejarah sebagai bagian kebutuhan pendewasaan masyarakatnya.
Bagaimana pun sejarah merupakan hal penting. Di dalamnya ada landasan eksistensi, harga diri, kebanggaan, kritik, dan alasan untuk introspeksi. Pekerjaan penulis sejarah, jika diartikan sebagai profesi independen yang disandangkan pada sejarawan akademis, dapat diubah pada pengertian yang lebih sederhana. Kerangka penguatan sipil sebagai landasan otoritas tertinggi dalam negara demokrasi tetap mengharuskan dihormatinya institusi independen yang lahir dari rahim masyarakat sipil yang mempunyai dinamika tersendiri. Sehingga berapa pun rezim berganti, masyarakat akan selalu berminat untuk menuliskan sejarahnya dengan mandiri.
Maka biarlah sejarah yang bicara….

Ideologi politik

Posted by ardian_yukKemarii 04.26, under | No comments

Ideologi politik

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Ramai parti politik mengatur tindakan dan program mereka berasaskan sebuah ideologi. Dalam kajian sosial, ideologi politik merupakan sekumpulan unggul, prinsip, doktrin, mitos atau simbol etika sesebuah gerakan sosial, institusi, darjat atau golongan yang mengupas cara sesebuah masyarakat berfungsi, serta menyediakan rangka politik atau budaya untuk sebuah order sosial tertentu. Sebahagian besar ideologi politik menjelaskan cara mengagihkan bidang kuasa dan had kuasa yang boleh digunakan.
Ideologi politik mempunyai dua dimensi:
  1. Matlamat: Cara masyarakat berfungsi (atau diatur).
  2. Cara: Cara yang paling sesuai untuk mencapai aturan terunggul itu.
Ideologi merupakan sekoleksi idea-idea. Lazimnya, setiap ideologi memounyai idea tentang bentuk kerajaan yang dianggap paling baik (contoh: demokrasi, teokrasi) serta sistem ekonomi yang terbaik (contoh: kapitalisme, sosialisme atau komunisme).
Ideologi juga dikenali melalui kedudukannya dalam spektrum politik (berhaluan kiri, kanan atau tengah), namun pengelasan ini tidak dipersetujui semua pihak. Ideologi juga boleh dibezakan melalui strategi politik (seperti populisme) atau berdasarkan isu tunggal (seperti penentangan terhadap pengintegrasian Eropah, atau pengesahan penggunaan marijuana sebagai sah di sisi undang-undang).

POLITIK ANGGARAN

Posted by ardian_yukKemarii 04.21, under | No comments

                                                              POLITIK ANGGARAN

 Indonesia adalah sebuah negara besar yang luas daratannya
1,937 juta km2, terdiri dari 18.108 pulau dan lautan Zona
Ekonomi Eklusif yang mencapai 2,7 juta km2 dengan
jumlah penduduk mencapai 210 juta orang. Sebagai
negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, idealnya
kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia seharusnya tidak
terlalu jauh dari China, India atau Amerika Serikat. Tetapi
kenyataannya, Indonesia menurut laporan Bank Dunia memiliki jumlah rakyat miskin
hingga mencapai 49 persen atau sekitar 108,78 juta dengan pendapatan kurang dari
2 dolar AS atau 19 ribu rupiah perhari. Wajar saja terjadi polemik ketika pemerintah
mengumumkan terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 2,13 juta
orang dalam satu tahun yang semula 39,30 juta di tahun 2006 menjadi 37,17 juta pada
tahun 2007, karena dalam pandangan banyak pengamat, fakta sosial yang muncul
justru kebalikannya, semakin hari kemiskinan dalam masyarakat semakin tinggi.
Belajar dari pengalaman selama ini sudah tepatlah Pemerintah sekarang
mengangkat Tema Pembangunan 2008 pada tahun keempat Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah Percepatan Pertumbuhan Ekonomi
untuk Mengurangi Kemiskinan dan Pengangguran. Politik Anggaran inilah
sebenarnya yang diharapkan rakyat, karena penjabarannya secara konkrit diarahkan
pada prioritas program yang mengarah pada upaya mengatasi problem terbesar
bangsa sebagaimana amanah Konstitusi. Pemerintah akan memfokuskan pada
pembangunan infra struktur yang akan dialokasikan di Departemen Perhubungan
setelah Departemen Pendidikan Nasional yang menempat peringkat pertama
anggaran terbesar APBN Tahun 2008.
Penempatan anggaran terbesar bidang pendidikan sangat beralasan karena
tuntutan yang berkembang dalam masyarakat harus menjadi komitmen semua
pihak untuk melaksanakannya. Begitu juga Pemerintah berkeyakinan bahwa salah
satu cara untuk menekan kemiskinan dan pengangguran adalah membangun
infrastruktur secepatnya dan meningkatkan jaminan kesehatan. Kenaikan anggaran
yang hampir 2 kali lipat senilai 397,76 triliun rupiah pada tahun 2005 dan bertambah
menjadi 763,57 triliun rupiah pada tahun 2007 seharusnya diimbangi dengan adanya
peningkatan secara signifikan terhadap kesejahteraan rakyat. Kenyataannya berbicara
lain, peningkatan jumlah anggaran justru hanya menambah belanja pusat, dan
kurang memperhatikan kepentingan daerah yang sejatinya sebagian besar rakyat
Indonesia berada di daerah. Belum lagi persoalan yang menyangkut perilaku birokrat,
inefisiensi, kekurang efektifan pelaksanaan program, tingkat kebocoran yang tinggi,
meningkatnya jumlah pinjaman luar negeri, defisit anggaran yang terus membesar,
rencana anggaran pendapatan yang tidak mencapai target, terus berkurangnya asset
negara dan berbagai masalah lainnya yang semakin menjauhkan kebijakan Politik
Anggaran berpihak pada rakyat.
Karena itu komitmen Kabinet Indonesia Bersatu menginjak tahun keempat
pemerintahannya, seyogyanya jangan hanya menjadi komoditas politik dalam rangka
kepentingan politik Pemilu Presiden Tahun 2009. Namun harus menjadi tekad
nyata pemerintah untuk bisa membuktikan keberhasilannya. Karena bisa dipastikan
seandainya program kerja tersebut bisa diwujudkan, maka tujuan negara sebagaimana
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, bukanlah impian belaka.

Tugas, Pokok dan Fungsi Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan Dan Keamanan

Posted by ardian_yukKemarii 04.09, under | No comments

Tugas, Pokok dan Fungsi Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan Dan Keamanan


altalt
Pasal 139

Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Pasal 140

Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan dan pelaksanaan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang politik, hukum, pertahanan dan keamanan.

Pasal 141
Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan menyelenggarakan fungsi:
  1. penyiapan perumusan kebijakan perencanaan pembangunan nasional di bidang hukum dan hak asasi manusia, pertahanan dan keamanan, politik dan komunikasi, serta aparatur negara;
  2. koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di bidang hukum dan hak asasi manusia, pertahanan dan keamanan, politik dan komunikasi, serta aparatur negara;
  3. pelaksanaan penyusunan perencanaan pembangunan nasional di bidang hukum dan hak asasi manusia, pertahanan dan keamanan, politik dan komunikasi, serta aparatur negara;
  4. pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional di bidang hukum dan hak asasi manusia, pertahanan dan keamanan, politik dan komunikasi, serta aparatur negara;
  5. pelaksanaan hubungan kerja di bidang perencanaan pembangunan nasional di bidang hukum dan hak asasi manusia, pertahanan dan keamanan, politik dan komunikasi, serta aparatur negara;
  6. pelaksanaan tugas lain yang di berikan oleh Menteri Negara/Kepala sesuai dengan bidangnya.

Pasal 142
Susunan organisasi Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan terdiri dari:
a. Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. Direktorat Pertahanan dan Keamanan;
c. Direktorat Politik dan Komunikasi;
d. Direktorat Aparatur Negara.

Teori Politik

Posted by ardian_yukKemarii 04.05, under | No comments



Teori Politik

  1. A. Teori Politik
Dalam beberapa literature tentang ilmu politik, banyak didapat tentang pendefinisian Teori politik, tetapi alangkah baiknya bila kita memisahkan Teori Politik per kataya, yaitu Teori dan Politik. Ada satu literature yaitu pada kamus politik hasil tulisan dari BN. Marbun SH disana tertulis teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa. (469 : 2007), lalu ditemui pengertian politik pada literature dasar-dasar Ilmu Politik didapat bahwa pengertian politik adalah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik (Prof. Miriam Budiardjo., 13 : 2008). Maka dapat kita elaborasi bahwa pengertian Teori politik, merujuk pada berbagai fenomena politik yang terjadi baik di kancah Nasional maupun Internasional, maka sebenarnya Teori poitik dapat diartikan bahwa usaha penyamaan untuk membaca berbagai fenomena-fenomena politik.
Sebagai penstudi Hubungan Internasional dalam hal usaha penyamaan “cara baca” mengenai berbagai peristiwa politik yang terjadi, usaha tersebut selalu memakai konsep-konsep yang idenya selalu bersifat abstrak, maka dari itu dapat dikatakan salah satu kegunaan Teori Politik adalah sebagai “batu pijakan” antara konsep-konsep politik yang abstrak dengan fenomena-fenomena politik yang semata-mata fakta.
Berbicara mengenai hubungan antara konsep dan teori, sebagaimana telah diketahui bahwa konsep bersifat abstrak, dan teori merupakan hasil “buah karya” dari sana, karena itulah ada beberapa “jangkauan” yang dijangkau oleh teori politik yaitu  Sifat dari Alam Semesta (The Nature of Universe); Sifat Manusia (Human Nature); Pandangan tentang Masyarakat (Views of Society); Sistem Ekonomi (Economic Systems);
Bentuk-Bentuk Negara (Forms of State).
  1. Sifat manusia
Semua ilmu sosial mempelajari manusia sebagai anggota kelompok. Timbulnya kelompok-kelompok itu ialah karena dua sifat manusia yang bertentangan satu sama lain; di satu fihak dia ingin kerjasama. di fihak lain dia cenderung untuk bersaing dengan sesama manusia.
  1. Sifat Alam
Hukum tentang tata Alam bersifat absolut,  Hal ini sangat erat kaitannya dengan dianutnya kepercayaan seseorang, yang berbeda-beda satu sama lain. Hukum alam ini sebagaimana dikatakan tadi bersifat absolute. Namun sayangnya sebahagian besar manusia telah mengesampingkan hukum absolut, lantas memilih, menggunakan dan menaati hukum produk akal manusia yang bersifat relatif, trial and error.
  1. Pandangan masyarakat
Di sini kata “politik” dipakai dalam konotasinya yang biasa, yaitu yang berhubungan dengan negara. Kata “negara “ mengacu pada kategori khusus dari kelompok-kelompok manusia atau masyarakat. Terdapat dua arti negara yang patut diperhatikan. Pertama, negara bangsa (nation-state), yang mengacu pada masyarakat nasional. Yang dimaksud adalah komunitas yang muncul pada akhir abad pertengahan, yang dewasa ini kuat terorganisir sekaligus paling utuh berintegrasi. Kedua, negara pemerintah (government-state), yang mengacu pada penguasa dan pemimpin dari masyarakat nasional tersebut.
  1. system ekonomi
Kita harus memulainya dari pemahaman yang sangat mendasar. Bahwa untuk mempertahankan dan melanjutkan hidupnya, manusia harus dapat mencukupi kebutuhan utamanya yaitu: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu manusia harus memproduksi semua kebutuhan-kebutuhannya. Dalam proses produksi inilah, manusia menggunakan dan mengembangkan alat-alat produksi (alat alat kerja dan obyek kerja)  disamping tenaga kerjanya sendiri. Dari mulai tangan, kapak, palu, lembing, palu, cangkul hingga komputer serta mesin-mesin modern seperti sekarang ini. Alat-alat produksi (ada teknologi didalamnya) dan tenaga kerja manusia (ada pengalaman, ilmu pengetahuan didalamnya) tidak pernah bersifat surut melainkan terus maju disebut sebagai Tenaga produktif masyarakat yaitu kekuatan yang mendorong perkembangan masyarakat.
  1. Bentuk-bentuk Negara
Jauh sebelum adanya pemikiran tentang negara dan hukum, negara telah ada, kita ingat misalnya adanya negara- negara yaitu Babylonia, Mesir dan Assyria. Negara- negara ini adanya sekitar abad ke XVIII sebelum Masehi, dengan sistem pemerintahannya yang sangat absolute. Tetapi di samping itu pada jaman bangunnya peradaban manusia ada juga raja- raja yang memerintah dengan baik hati yaitu dengan memberikan Undang- Undang yang menjamin hak- hak daripada para warga negaranya. Raja yang berbuat demikian kiranya adalah raja dari Babylonia yang bernama Chammurabi yang memerintah sekitar tahun 1800 SM yang terkenal mempersatukan negaranya yang semula terpecah- belah. Karena sudah sejak dahulu terdapat ilmu dan peraturan yang mengatur yangmana telah diatur oleh Raja maka banyak bentuk negara yang timbul karena kosekuensi dari yang dibentuk dari negara yang sudah ada saat itu.
Pendapat para ahli sangatlah banyak versi yang seharusnya sama tetapi dengan dilihat dari berbagai sudut pandang dan dalam penyesuaian keadaan serta jamannya maka pendapat itu berdiri sendiri hingga semakin banyak bentuk dari suatu negara itu sendiri.
  1. B. Cakupan Teori politik
    1. Filsafat Politik
Jika kita melihat eksistensi antara filsafat dan politik terjadi perbedaan yang cukup mencolok. Dalam dunia filsafat akal budi, teori yang mendasari alam pikiran, dan penafsiran-penafsiran menduduki posisi penting. Sedangkan politik berkaitan dengan kehidupan nyata yaitu masalah kenegaraan, kebijakan pemerintahan, cara bertindak pemerintahan menghadapi dan menangani masalah dalam dan luar negeri. Namun, kendati arah dan tujuannya berbeda, ternyata filsafat dan politik saling melengkapi. Dengan ide-ide briliannya, filsafat membantu dunia politik tentang bagaimana suatu negara dikelolah dan dijalankan sebaik mungkin. Selain itu, sikap “kritis” yang merupakan salah satu senjata filsafat dibutuhkan dalam mengawasi segala kebijakan pemerintahan. Jadi, ketika membuat kebijakan, hendaknya kebijakan tersebut tidak diterima begitu saja, akan tetapi dikoreksi dengan sikap kritis yang objektif terlebih dahulu. Di sisi lain, filsafat juga butuh dunia politik. Ide-ide, dan segala pemikiran filsafat direalisasikan dalam dunia poltik atau kehidupan nyata yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, tanpa dunia politik, ide-ide filsafat tentang dunia politik akan dengan sendirinya hilang dan basi karena tidak pernah digunakan.
Pada akhir abad-20 dan awal abad-21 ini, dunia kita seolah-olah berada dalam zaman babel dulu. Zaman babel sering digambarkan sebagai zaman kekacauan. Manusia tidak lagi saling mengenal, saling bekerjasama, tapi lebih mementingan identitasnya masing-masing. Akibatnya yang terjadi adalah perang, dan segala macam bahaya yang mengancam kehidupan manusia.
Akhir abad-20 dan awal abad-21, juga mengalami hal yang sama. Perang dingin antar blok barat yang dipelopori oleh Amerika serikat dan blok timur oleh Uni sovyet (sebelum bubar 1990-an) telah melahirkan perlombaan persenjataan nuklir antara kedua blok. Kekerasan  dalam bidang politik juga merajalela, contohnya pemerintahan ORBA yang mengekang kebebasan warga negara demi melagengkan kekuasaannya. Perang saudara di Yugoslavia yang menyebabkan negara tersebut hancur terkeping-keping, masalah darfur di sudan yang sampai sekarang belum diketemukan pemecahan masalahnya, invasi Amerika dan sekutunya di afghanisatan dan irak yang menyebabkan kedua negara Islam tersebut berada dalam kekacauan, dan kekerasan politik rezim militer Myamar terhadap aktivis hak asasi manusia, dan terakhir adalah instabilitasi politik yang terjadi di Timor leste. Dan semuanya itu hanya mengakibatkan penderitaan terhadap rakyat yang tidak berdosa dan tidak tahu berpolitik. Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa hal ini semua terjadi?
Ketika merefleksikan pertanyaan tersebut, saya teringat akan pemikiran-pemikiran politik Bertrand Russel, seorang filsuf empirisme, Inggris. Menurut Bertrand Russel, kekacauaan terjadi karena cita-cita politik yang salah dari para penguasa dan hanya diselamatkan dengan cita-cita yang berbeda dari sumber-sumbernya yang selalu membawa kesengsaraan, dan pembinasaan. Karena itu, cita-cita politik harus didasarkan pada kehidupan individu, dimana sasaran politik harus membuat kehidupan individu menjadi lebih baik. Dan ada 2 (dua) dorongan yang sangat menentukan pola perilaku individu dalam pergaulan masyarakat negara antara lain: Possesip yaitu upaya untuk memiliki dan mempertahankan, dan Kreatif (konstruktif) yaitu upaya untuk menciptakan dan menemukan hal-hal baru. Di sini yang utama adalah konstruktif karena terjadi kehidupan yang lebih baik. Dan karena itu dalam kehidupan politik, lembaga politik yang baik akan memperlemah dorongan-dorongan terhadap kekuatan dan dominasi dengan 2 (dua) cara yaitu melalui pendidikan masyarakat, dan mengekang keinginan-keinginan possesip.
Untuk contoh para filsuf yang ada saya mengambil Ibnu Sina, Filsafat Jiwa Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku – buku yang khusus untuk soal – soal kejiwaan ataupun buku – buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Memang tidak sukar untuk mencari unsur – unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran – piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran – pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam segi fisika, ia banyak  memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat – pendapat filosof modern.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
  1. Teori Politik Normative
Teori politik normative, penemuan dan aplikasinya, hubungan antara politik dan moral. Kalau kita pandang di dalam terminology secara sempit sebagai suatu cabang ilmu etika atau moral menjadi dasar dalam mempengaruhi perkembangan kehidupan politik. Teori politik normative adalah cara untuk membahas lembaga social, khususnya berhubungan dengan kekuasaan public, dan tentang hubungan antar individu di dalam lembaga.
Posisi Utama dalam Teori Politik Normatif
Sejak kebangkitannya pada 1970-an. Teori Normatif sudah berkembang ke segala arah. Beberapa penggunanya telah telah mengungkapkan ulang dasar-dasar dari teori yang sudah lama, (diantaranya adalah feminis) telah mencari ide baru. Tiga pendekatan teori normative telah mendominasi perdebatan pada tahun 1970-an dan setelahnya, diantaranya Ultilitarianisme, deontological liberalism dan communitarianism.
  1. . Ultilitarianisme
Ultilitarianisme adalah filosofi dan moral yang sering dikaitkan dengan pembaharu social yang radikal pada abad ke-19 yaitu, Jeremy Bentham. Seperti yang lain, Bentham curiga dengan aksi politik yang dibangun diatas klaim yang abstrak dan spekulatif tentang hak alami dan kewajiban kita, justru dia mengungkapkan hal yang dia pikir menjadi fakta mendasar tentang manusia yang diungkapkan dengan observasi empiric.
Menurut Bentham, manusia dimotivasi oleh suatu keinginan untuk meraih kebahagiaan dan untuk menghindari penderitaan karena itu keputusan moral politik yang paling benar adalah mencari kebahagiaan terbesar bagi masyarakat umum. Kebahagiaan ini dapat diukur berdasarkan kegunaanya, dimaksudkan untuk menghasilkan kemanfaatan, kegunaan, kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan, dan objek dari pembuat kebijakan harus dimaksimalkan kegunaan sosialnya.
Bentham tidak mencari aksi yang secara tepat dapat memaksimalkan kebahagiaan, hal itu diserahkan kepada anggota masyarakat. Setiap individu harus mendefinisikan kebaikannya sendiri dan kepada pembuatan keputusan social keinginan dari tiap individu harus dimaksudkkan sejajar pada semua hitungan kegunaan.
Banyak kritik pada filosofi ini, bahwa kebahagiaan dan penderitaan bisa diukur dan keinginan yang tidak bisa diukur dari bermacam individu dapat di bandingkan, dianggapnya tidak masuk akal. Banyak kritikus khawatir terhadap implikasinya untuk individu dan minoritas dari suatu doktrin.
Kegunaan social sebagai sebuah kumpulan dan menolak pembatasan pada aksi social yang mungkin disediakan oleh teori tentang hak. Kecemasan mereka semakin ditambah oleh kepercayaan Utilitarianism pada pilihan-pilihan individu. Ketika beberapa pilihan mungkin sangat anti social ( Rasis contohnya). Keputusan untuk mencari kebahagiaan dari banyak orang dimasyarakat atau orientasi kesejahteraan tekhnokrasi disetujui oleh sebagian besar masyarakat. Model yang dapat membuat persetujuan yang kejam secara bebas dan bisa dima’afkan.
Salah satu kritik tajam diungkapkan John Stuart Mill menjauhkan utilitarianism yang secara kejam mendasarkan pada jumlah dengan mengakomodasi penilaian secara kualitas. Sebagai contoh pengalaman intelektual atau aestetik tertentu mungkin lebih penting daripada keinginan orang yang sebenarnya sepadan tingkat kegunaanya.
Mill juga mendebat utilitarianisme yang menjaga keinginan tertentu yang mendasar dan vital dari semua individu sebagai masalah hak. Hak sendiri berkontribusi pada semua kegunaan umum dengan membuat aman hal yang paling mendasar dari keberadaan kita.
Mill menegaskan bahwa pada suatu waktu hak bisa berkonflik dengan hak lain. Ketika terjadi, hanya hitungan kegunaan relative yang bisa menentukan mana hak yang berlaku. Argument mill ini mengantarkan pada “act-utilitarianisme”, (dimana semua tindakan harus dinilai berbeda dari memaksimalkan kebahagiaan) menjadi rule-utilitarianism (yang akan menjadi semua system peraturan yang mendesak, karena manfaat yang didapat adalah untuk seluruh masyarakat.)
  1. Deontological Liberalism
Sangat bertentangan dengan utilitarian bahkan pada etika teologi manapun. Etika teologi adalah moral yang menilai berharganya manusia berdasarkan apakah dia memenuhi suatu tujuan atau menyadari suatu akhir. Pemikir penting pada 70-an, john rawls, Robert Nozick, Ronal Dwarkin dan Alan Gerwith yakin bahwa etika teologi yang telah berubah menjadi politik kehidupan tidak cukup bahkan membahayakan kebebasan manusia.
Argumen mereka menganggap membahayakan kebebasan manusia karena dua hal yaitu, pertama, mereka berpendapat, utilitarianism tidak memperhitungkan keanekaragaman akhir individu baik karena ini mensepesifikkan satu macam tujuan yang mungkin (pemaksimalkan kebahagiaan atau keuntungan) lebih tinggi daripada yang lain atau karena menilai kebaikan manusia atau kesejahteraan berdasarkan kumpulan nilai yang menguntungkan dari suatu masyarakat sebagai suatu keseluruhan atau dari jumlah yang terbesar, gagal untuk mempertimbangkan bahwa tiap individu itu berbeda.
Kedua, etika teologi mengutamakan akhir daripada alat yang mungkin digunakan untuk mencapainya. Secara khusus ini menolak untuk memperbolehkan bahwa pencarian tujuan kumpulan social harus dipaksa oleh hak yang tidak dapat diganggu gugat yang memiliki oleh tiap individu.
Deontological atau kantian liberal, ulitarianism telah menegakkan banyak pemikiran liberal tetapi dari banyak kritik telah diungkapkan bahwa liberalism butuh dasar filosofis yang lebih meyakinkan. Mereka mengkontraskan deontology (etika hak/ kewajiban) dengan teleology (etika akhir). Referensi utama deontology adalah imanuel kant.
Menurut kant, individu adalah suatu akhir (tujuan) bukan alat sehingga mereka tidak bisa diganggu gugat. Kantanian percaya bahwa setiap individu seharusnya lebih bebas menentukan dan mengejar tujuan mereka daripada tujuan orang lain yang menentukan mereka. Tetapi dalam mencapai tujuan harus ada batasan dalam tingkah laku mereka.
Manusia adalah makhluk yang bebas dan otonomi tapi mereka tidak lebih melukai kebebasan dan otonomi orang lain. Mereka percaya bahwa aksi kolektif social pun harus menghormati hak individu. Liberalism berbeda dengan anarkis dengan menerima bahwa ada lembaga yang diperlukan untuk menjaga hak dan membuatnya efektif. Munculah pertanyaan sejauh mana pemerintah bisa bergerak.
  1. Communitarianism
Communitarianism dimulai dari dari sebuah kritik pada konsep liberal dari diri individu (liberal self). Menurut Michael Sandel, liberal self itu tidak dibebani atau bisa diadopsi di tempat yang menguntungkan diluar masyarakat dimana dia menjadi bagiannya, dan untuk didefinisikan dengan tujuan dan komitmenya tanpa referensi dari tradisi turunan atau tujuan yang dibagi. Ini diberkati oleh hak dan kewajiban tertentu dalam istilah abstrak murni dan universal yang menyebarkan klaim dan kewajiban yang muncul dari diri kita sendiri dan ikatan social.
Communitarianism percaya kalau liberal self dominant ketika ikatan komunal telah terkikis dan individu menjauhkan diri dan hanyut meskipun sebenarnya kehidupan komunal atau tradisi adalah referensi yang diperlukan oleh individu. Communitarinism curiga dengan cara deontologist, percaya bahwa hak (prinsip universal keadilan) harus dibatasi pada pencarian kebaikan kolektif.
Communitarian curiga pada hak yang berdasarkan liberalism, serta communitarian tidak bergabung dalam alternative politik umum, Secara normative mereka merasa individualisme yang tidak diinginkan semacam ini, adalah sebuah gejala bahwa ada yang salah. Mereka memilih untuk mengatakan tentang suatu “ diri yang berdasar situasi” (situated self) bahwa seseorang yang tergabung dalam suatu masyarakat dan didefinisikan oleh keterikatannya dan pemahaman diri yang digunakan bersama yang menjadi kerangka kehidupan masyarakat. Masyarakat baik desa, pinggiran, pergerakan/ etika grup, yang mengatur hak dan kewajiban khusus. Kita lah yang membuat moral khusus kita. Pada saat yang sama kita perlu terlibat dalam tujuan dari masyarakat kita.
Communitarian sendiri mudah diserang karena tidak cukup menawarkan penjagaan pada kebebasan individu atau penjagaan dari tirani tradisionalis atau mayoritas. Communitarianism menawarkan argument kuat yang membuat kita menyadari bagaimana tradisi turunan kita membentuk moral kita. Walaupun kita tidak setuju dengan tradisi itu tetap menemukan diri kita terlibat di dalamnya. Contohnya: kebiasaan, konstitusi. Ini mengingatkan bahwa kita lahir dengan kewajiban moral sebagai anggota masyarakat.
  1. Idelogi
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.(definisi ideologi Marxisme).
Definisi lain
Selain definisi di atas, berikut ada beberapa definisi lain tentang ideologi:
Wikipedia Indonesia: Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah ‘aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Destertt de Tracy: Ideologi adalah studi terhadap ide – ide/pemikiran tertentu. Descartes: Ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia. Machiavelli: Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Thomas H: Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya. Francis Bacon: Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Karl Marx: Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Napoleon: Ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya. Muhammad Muhammad Ismail: Ideologi (Mabda’) adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya?. Dr. Hafidh Shaleh: Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi(mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.
Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga ideologi. Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Untuk saat ini dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, saat ini tidak diemban oleh satu negarapun, melainkan diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia.
Sumber konsepsi ideologi kapitalisme dan Sosialisme berasal dari buatan akal manusia, sedangkan Islam berasal dari wahyu Allah SWT (hukum syara’).
Ideologi politik
Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekereja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan.
Teori komunis Karl Marx, Friedrich Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada abad 20.
Contoh ideologi lainnya termasuk: anarkisme, kapitalisme, komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, demokrasi kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial.
Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari “moral entrepreneurs”, yang kadangkala bertindak dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi politik adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi atau simbol dari gerakan sosial, institusi, kelas, atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan budaya yang sama. Merupakan dasar dari pemikiran politik yang menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya.
Ada juga yang memakai agama sebagai ideologi politik. Hal ini disebabkan agama tersebut mempunyai pandangan yang menyeluruh tentang kehidupan. Islam, contohnya adalah agama yang holistik.
  1. Teori Empiris
Fakta empiris menunjukkan golongan agama bukanlah manusia yang suci yang tidak dikendalikan oleh hawa nafsunya. Dari pengalaman itu, Thomas Hobbes menarik dua kesimpulan peristiwa tersebut. Pertama, menata masyarakat berdasarkan prinsip normatif seperti agama dan moralitas tidak mungkin. Menurut Thomas Hobbes prinsip-prinsip itu hanyalah kedok-kedok emosi dan nafsu-nafsu hewani yang paling rendah. Kedua, masyarakat bisa mewujudkan perdamaian hanya apabila mampu mengenyahkan nafsu-nafsu yang rendah. Damai bisa diciptakan bila manusia terbebas dari hawa nafsunya. Dari konsepsi ini pula muncul karya-karya Thomas Hobbes yang cermelang mewakili zamannya.
Thomas Hobbes, karyanya yang terkenal Leviathan, diterbitkan tahun 1661. Sebagaimana halnya dengan ilmuan lainnya, Hobbes hidup dalam era pergolakan. Ia sangat terkesan oleh tuntutan akan kekuasaan politik yang kuat untuk mengeluarkan tatanan yang ada dari pergolakan yang mengancam masyarakat sipil. Situasi yang demikian mengstimulus inspirasi Thomas Hobbes untuk merumuskan teori-teori politik yang relevan dengan kondisi zamannya. Pikiran-pikiran yang ditelorkan merupakan produk dan mewakili karakter pada zamannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa situasi kacau pada sisi lain titik balik munculnya berbagai karya yang monumental.

Imagologi Politik

Posted by ardian_yukKemarii 03.57, under | No comments

Imagologi Politik atau yang lebih dikenal dengan nama politik pencitraan merupakan salah satu strategi politik yang kian populer di kalangan para elit politik untuk memperkuat citra diri mereka di mata publik. Namun pada kenyataannya, politik pencitraan juga menghadirkan kontroversi di masyarakat. Kontroversi muncul saat pencitraan dinilai tidak lagi diletakkan pada substansi pencitraan itu sendiri, namun lebih kepada tampilan-tampilan yang kehilangan substansi. Kontroversi semakin menjadi ketika pencitraan politik yang dilakukan dinilai hanya menjadi demagog politik belaka. Asumsi-asumsi di masyarakat tentang politik pencitraan yang melahirkan kontroversi tersebut mendorong keberadaan penelitian ini, khususnya pencitraan politik yang dilakukan oleh SBY. Penelitian ini menjadi penting untuk melihat sejauh opini publik dalam menanggapi pencitraan politik yang dilakukan SBY dalam rangka menjatuhkan pilihan politik pada pemilu 2009 sehingga bisa dilihat tingkat efisiensi dari politik pencitraan itu sendiri. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kuantitatif dengan teknik analisa data berbentuk tabel tunggal dengan menghitung seberapa besar persentase masyarakat yang pro dan kontra terhadap pencitraan politik yang dilakukan oleh pasangan SBY-Budiono dalam kerangka meningkatkan tingkat elektabilitasnya pada pemilu presiden dan wakil presiden 2009 yang lalu. Sedangkan sampel yang digunakan berjumlah 99 orang dengan menggunakan langkah-langkah metode penarikan sampel yaitu Proporsional Stratified Random Sampling (sampling acak di stratifikasi secara proporsional), Sampling Purposive (sejumlah masyarakat yang menjadi objek penelitian harus memenuhi beberapa kriteria) dan Accidental Sampling (sampel yang didasarkan pada sifat kebetulan). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa opini masyarakat yang pro terhadap SBY karena mereka menilai bahwa cara-cara dan pendekatan pencitraan yang digunakan SBY lewat proyek-proyek pencitraannya dinilai baik oleh masyarakat, disamping itu SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang relatif berhasil dengan program-program populernya di masyarakat. Disamping itu sosok SBY juga dinilai memenuhi kriteria pribadi masyarakat sebagai sosok seorang pemimpin. Sementara itu opini masyarakat yang kontra terhadap SBY karena mereka menilai banyaknya kebohongan-kebohongan dan realitas-realitas palsu yang disampaikan SBY lewat pencitraan-pencitraan politiknya.

citra politik dan politik citra

Posted by ardian_yukKemarii 03.50, under | No comments

citra politik dan politik citra

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah politik. Akan tetapi publik cenderung buruk dalam memaknainya. Politik mengalami degradasi moral dibandingkan dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Politik dikaitkan dengan strategi tipu muslihat untuk meraih kekuasaan atau Sesuatu yang berhubungan dengan penggulingan kekuasaan atau kudeta. Begitu buruknya citra politik di mata publik seolah publik menjauhi persoalan apapun yang berkaitan dengan politik. Bahkan sebait syair musisi Iwan Fals menyuarakan bahwa “apakah selamanya politik itu kejam”. Begitu rendahnya wibawa politik maka publik menganggap bahwa politik itu kotor.
Nampaknya publik cenderung sependapat dengan Marcievali bahwa menghalalkan segala cara demi tercapainya kekuasaan adalah suatu keharusan. Politik semacam ini tiada mengenal kawan atau lawan, namun yang berbicara adalah kepentingan. Dan masing-masing bisa menjadi harimau bagi sesama yang siap menerkam kapanpun.
Memang persepsi publik tak sepenuhnya salah, realitas sering membuktikan beberapa politisi acapkali mengabaikan nilai-nilai etika politik. Mereka tak segan-segan menelikung dari belakang terhadap kerabat atau kawan sendiri agar tujuannya tercapai. Bahkan peperangan dikaitkan atas nama penegakan HAM atau keamanan namun dibalik itu ialah kepentingan politik. Hal itu yang melatarbelakangi Amerika Serikat menaboh genderang perang terhadap Irak, walhasil jutaan manusia tak berdosa mati sia-sia atas nama keserakahan politik. Dan Irak pun menjadi porak poranda nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sana.
Melihat realitas kekejaman atas nama politik, tentu publik tertekan tak hanya secara psikologis namun juga mengalami trauma terhadap hal-hal yang berbau politik. Tak heran, warga Irak pasca peperangan ketika melihat orang asing atau pendatang baru menjadi curiga dan tak simpati bahkan buru-buru pintu rumahnya ditutup rapat-rapat.
Persepsi apapun mengenai politik, toh dunia satu ini selalu dekat dengan kita. Berbagai macam aktifitas kita sehari-hari tak jauh dari dunia ini. bahkan tokoh-tokoh terkenal seperti Kennedy, Soekarno, Ahmanejad, Obama yang diidolakan rakyat justru mereka sangat dekat dengan politik dan karena kesuksesannya di dunia politiklah nama besar mereka sampai kini.
Sebaliknya menurut Aristoteles bahwa politik merupakan disiplin ilmu yang mulia bahkan paling mulia di antara disiplin ilmu yang lain. Dengan alasan bahwa politik lah yang bisa mengantarkan terhadap disiplin ilmu ilmu lainnya bisa diimplementasikan secara optimal untuk menyejahterakan rakyat. Maka politik berkaitan erat dengan kekuasaan dan bertujuan sangat mulia untuk kepentingan rakyat.  Seandainya tidak melalui politik, tentu akan sukar membumikan disiplin ilmu yang lain sehingga publik bisa merasakan manfaatnya.
Dalam sistem demokrasi diharuskan berhubungan dengan politik. Salah satu aktifitas politik yang cukup menonjol adalah terselenggaranya pemilihan umum. Nah, untuk menyelenggarakan pemilihan umum mesti dibutuhkan dana yang amat besar. Di negeri ini saja saat menyelenggarakan pemilu-pemilu sebelumnya tak kurang menghabiskan ratusan milyar rupiah, itu belum ditambah dengan biaya setiap kandidat yang mencalonkan diri.
Dengan banyaknya dana yang dihabiskan untuk pemilu khususnya seorang kandidat akan melakukan berbagai macam cara kalau perlu berbuat curang. Berbagai media cetak dan elektronik dimanfaatkan untuk mendulang suara dalam pemilu. Media yang selalu menjadi alat utama dalam mensosialisasikan politik di era modern ini ialah televisi. Seorang kandidat akan selalu berusaha masuk di dalamnya bahkan ia berani menyewa program dengan dana yang amat besar. Dengan media televisi seorang kandidat akan menciptakan politik citra melebihi realitas kapasitas yang dimilikinya. Kapabilitasnya akan disetting sedemikian rupa agar terkesan ia seorang kandidat yang mempunyai kredibilitas tinggi dan layak jadi seorang pemimpin.
Saat pemilu pada tahun 1992 di Amerika serikat, Bill Clinton memenangkan pemilu presiden atas rivalnya Goerge Bush (senior), padahal publik memprediksikan Bill Clinton akan kalah. Kemenangan Bill Clinton tak bisa dilepaskan dari program debat presiden di televisi yang diadakan sebelum pemilu, Clinton begitu mempesona, cerdas dan argumentatif serta dengan penampilan tinggi, gagah dan tampan di program debat kandidat pada saat itu. Melalui televisi lah Clinton bisa membuat politik citra dan mampu merubah suara mayoritas rakyat berpindah kepadanya. Di kasus lain, politik citra juga begitu melekat dengan presiden SBY, ia begitu pandai mencitrakan dirinya terutama di media televisi, sehingga ia mampu merebut suara mayoritas rakyat Indonesia, bahkan khusus ibu-ibu begitu mengidolakan sosok SBY yang katanya gagah, tampan dan menarik.
Menurut J. Baudrillard menjelaskan empat fase citra pertama, representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, lalu citra bermain menjadi penampakannya; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun, ia hanya menjadi yang menyerupai dengan dirinya
Tradisi politik citra untuk kontek di Indonesia booming semenjak Era Reformasi yang memberikan ruang pers sebebas-bebasnya. Walhasil banyak muncul partai-partai berideologi nasionalisme sekuler dan Islam bak jamur di musim hujan. Dengan kebebasan pers ini pun seorang kandidat akan bebas berkreatifitas dalam meramaikan demokratisasi di negeri ini. Sayangnya demokrasi tetap masih elitis. Hanya kandidat yang mempunyai dana besar saja yang bisa masuk dunia citra dalam panggung politik.
Besarnya dana yang dikorbankan untuk pemilu memang menjadi persoalan vital seandainya dana itu disalurkan untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim di negeri ini, maka berapa banyak beban terkurangi masalah-masalah mendesak sebagian rakyat. Akan tetapi, besarnya dana untuk menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil serta terpilih pemimpin yang demokratis dan mempunyai kapabilitas yang tinggi, tentu menjadi persoalan lain.