Partisipasi politik sangat terkait erat
dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara
yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi
politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang otoriter
kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan
partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas
partisipasi meningkat, yang terjadi warga tak punya keleluasaan untuk
otonom dari jari-jemari kekuasaan dan tak ada partisipasi sama sekali
dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses
transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi galib disibukkan dengan
frekuensi partisipasi yang meningkat tajam, dengan jenis dan bentuk
partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat
“konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam
menyuarakan aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi
politik ini sangat beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik
terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana
prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh
semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya,
prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota
masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri (PPIM, 2001).
Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye.
Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana
tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut
mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen
partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya
dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap
masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau
ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun
partai dengan cara golput.
Partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik
seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya,
menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari
protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi,
dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum.
1. Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Di negara demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan di pelbagai kegiatan.
Biasanya dibagi – bagi jenis kegiatan berdasarkan intensitas melakukan
kegiatan tersebut. Ada kegiatan yang yang tidak banyak menyita waktu dan
yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri besar sekali jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu
melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini
mencakup antara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan.
Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik
masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan umum
berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat dihitung itensitasnya
adalah melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak
pilihnya ( voter turnout ) disbanding dengan warga Negara yang berhak
memilih seluruhnya.
Di Amerika Serikat umumnya voter turnout lebih rendah dari Negara –
Negara eropa barat. Orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk member
suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari
pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan
lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi organisasi seperti
organisasi politik, bisnis, profesi dan sebagainya.
2. Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di Negara otoriter seperti komunis, partisipasi masa diakui
kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat.
Tetapi tujuan yang utama dari partisipasi massa dalam masa pendek adalah
untuk merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern
dan produktif. Hal ini memerlukan pengarahan yang ketat dari monopoli
partai politik.
Terutama, persentase yang tinggi dalam pemilihan umum dinilai dapat
memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim
otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka
tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa umumnya system pemilihan di
Negara otoriter berbeda dengan system pemilihan di Negara Demokrasi,
terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang
diperebutkan, dan para calon tersebut harus melampaui suatu proses
penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh partai komunis.
Di luar pemilihan umum, partisipasi politik juga dapat di bina melalui
organisasi – organisasi yang mencakup golongan pemuda, golongan buruh,
serta organisasi – organisasi kebudayaan. Melalui pembinaan yang ketat
potensi masayarakat dapat dimanfaatkan secara terkontrol. Partisipasi
yang bersifat community action terutama di Uni soviet dan China sangat
intensif dan luas. Melebihi kegiatan Negara demokrasi di Barat. Tetapi
ada unsur mobilisasi partisipasi di dalamnya karena bentuk dan
intensitas partisipasi ditentukan oleh partai.
Di Negara – Negara otoriter yang sudah mapan seperti China menghadapi
dilema bagaimana memperluas partisipasi tanpa kehilangan kontrol yang
dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyarakat yang diharapkan.
Jika kontrol ini dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada
bahaya yang nantinya akan menimbulkan konflik yang akan mengganggu
stabilitas. Seperti yang dilakuakn oleh China di tahun 1956/1957. Pada
saat itu dicetuskannya gerakan “Kampanye Seratus Bunga” yaitu dimana
masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Namun pengendoran
kontrol ini tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang
disuarakan dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sesuda terjadi
tragedy Tiananmen Square pada tahun 1989, ketika itu ratusan mahasiswa
kehilangan nyawanya dalam bentrokan dengan aparat, dan akhirnya
pemerintah memperketat kontrol kembali.
3. Partisipasi Politik di Negara Berkembang
Negara berkembang adalah negara – Negara baru yang ingin cepat
mengadakan pembangunan untuk mengejar ketertinggalannya dari Negara
maju. Hal ini dilakukan karena menurut mereka berhasil atau tidaknya
pembangunan itu tergantung dari partisipasi rakyat. Peran sertanya
masyarakat dapat menolong penanganan masalah – masalah yang timbul dari
perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, agama dan sebagainya.
Pembentukan identitas nasional dan loyalitas diharapkan dapat menunjang
pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa Negara berkembang partisipasi bersifat otonom, artinya lahir
dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Oleh karena itu jika hal ini
terjadi di Negara- Negara maju sering kali dianggap sebagai tanda adanya
kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi jika hal itu
terjadi di Negara berkembang, tidak selalu demikian halnya. Di beberapa
Negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi menghadapi masalah
bagaimana caranya meningkatkan partisipasi itu, sebab jika tidak
partisipasi akan menghadapi jalan buntu, dapat menyebabkan dua hal yaitu
menimbulkan anomi atau justru menimbulkan revolusi.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Partisipasi Politik Masyarakat
1. Faktor Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.
2. Faktor Politik
Arnstein S.R (1969) peran serta politik masyarakat didasarkan kepada
politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :
a. Komunikasi Politik.
Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual
maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu
konflik. (Nimmo, 1993:8). Komunikasi politik antara pemerintah dan
rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika
(Surbakti, 1992:119)
.
b. Kesadaran Politik.
Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan
masyarakat dan politik (Eko, 2000:14). Tingkat kesadaran politik
diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian
terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22).
c. Pengetahuan Masyarakat terhadap
Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses
pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan
yang akan diambil (RamlanSurbakti 1992:196).
d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.
Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai
kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek
kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan
mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik
(Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan
publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi
politik,
memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang
merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk
meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan
analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan
agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71).
3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber
kehidupan termasuk fasilitas serta
ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan
semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang
berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai
kelompok beserta lembaga dan pranatanya (K. Manullang dan
Gitting,1993:13).
4. Faktor Nilai Budaya
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai budaya politik atau
civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya
adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau
peradapan masyarakat (Verba, Sholozman, Bradi, 1995). Faktor
nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.