Sabtu, 26 November 2011

Politik Etis dan Kondisi Umum Indonesia pada Awal Abad ke-20 (1)

Posted by ardian_yukKemarii 19.36, under | No comments

Diterapkannya Politik Etis (Etische Politiek) di awal abad ke- 20 M sering dianggap sebagai awal pangkal kondisi yang membukakan kesadaran berbangsa bagi rakyat Indonesia. Politik Etis kolonial Belanda ini awalnya tatkala dirumuskan menimbulkan sikap pro dan kontra, baik di kalangan para intelektual, politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di Belanda. Ada sebagian yang menentang (dalam kadar yang cukup keras) di Parlemen Belanda, namun di lain pihak ada yang mendukung program ini yang mereka anggap sebagai sesuatu yang ‘manusiawi’ atau bahkan sebagai ‘kewajiban moral’ terhadap rakyat Indonesia. Terlepas dari masalah pro dan kontra tersebut, setelah Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato di Staten General pada tahun 1901, maka mulailah berlaku Politik Etis tersebut di lapangan secara nyata. Sebelum tahun 1901 politik Belanda semata-mata mementingkan tuntutan ekonomi, yang karena itu penghisapan kekayaan terhadap Indonesia sama sekali tidak memperhitungkan rakyat Indonesia. Dengan adanya pidato Ratu Wilhelmina tersebut dimungkinkan ada keseimbangan antara unsur menjajah dengan unsur memiliki ‘kewajiban moral’ itu.
Jabaran Politik Etis itu oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi dan emigrasi. Dukungan yang mula-mula muncul adalah dari kalangan kapitalis dan industrialis Belanda yang pada hakekatnya berkeinginan untuk memasarkan hasil industrinya sambil melakukan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia.
Perbaikan sosial yang nampak mulai ditanggapi antara lain dalam hal pendidikan. Mengapa ini dilakukan ? Sebab, masalah pendidikan (edukasi) hampir tidak tergarap dan memang sengaja tidak digarap sebelum Politik Etis dicetuskan. Hal ini tergambar dalam tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (1908) sebagai berikut: “Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekeerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah.”
Van Deventer, yang kemudian dijuluki “Bapak Pergerakan Etis”, merupakan tokoh yang menempatkan kesejahteraan penduduk asli di atas segala-galanya dan dia pula yang menempatkan dirinya sebagai penentang kemiskinan di Jawa yang paling gigih dan menyerang praktek-praktek pemerasan yang dilakukan Cultuur Stelsel dan penanam-penanam tebu. Untuk itu, dimulailah usaha-usaha pendidikan itu. Pada tahun 1905, tahun pemilihan di Belanda, Van Deventer dan kawan-kawannya menang dalam Parlemen Belanda, yang karena itu mereka menjadi pemeran utama dalam pembentukan kabinet. Seorang anggota partai Demokrat Liberal, D. Fock, menjadi Menteri Jajahan. Dia bersedia memajukan dan meluaskan pendidikan para pribumi. Usaha ini terdukung oleh saran dan konsep Snouck Hurgronje, seorang profesor indolog di Leiden (1906) yang menyarankan agar pemerintah kolonial Belanda memberikan pendidikan kepada elit pribumi dalam tradisi yang paling baik dari Barat yang nantinya diharapkan menjadi tokoh penting yang berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia. Sementara itu pelaksana Politik Etis di bidang pendidikan (edukasi) terutama adalah J.H. Abendanon (yang diangkat sebagai Direktur Pendidikan di Hindia Timur pada tahun 1900). Dia dan isterinya banyak memberikan rangsangan yang menimbulkan kesadaran kepadapara angkatan muda Indonesia, antara lain pemuda Abdoel Moeis yang belakangan menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) dan lewat korespondensi dia berhasil mengobarkan semangat pemikiran Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, yang pada akhirnya merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah untuk kalangan wanita di Indonesia.
Sesuai dengan semangat Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan denmgan program Vervolg School (sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Pemulaan sekolah semacam ini lalu dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya, misalnya yang dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman Belanda dan program Algemeene Middelbare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas bagaimana kondisi yang nota bene disemangati oleh Politik Etis di atas, di sini akan dituliskan, sebagai contoh, bagaimana sebenarnya yang disebut Volk School (Sekolah Desa) itu. Volk School digalakkan berdasar inisiatif Gubernur Jendral Van Heutz. Dia menganggap jenis sekolah ini adalah sekolah yang lebih sederhana dan lebih murah. Van Heutz berkenalan dengan asisten-residen Ambarawa, De Bruin Prince, yang mendirikan 100 sekolah di berbagai desa sebagai percobaan. Program pelajarannya meliputi membaca, menulis dan berhitung dalam bahasa Jawa. Sementara itu juga diajarkan ketrampilan tangan seperti membuat keranjang, pot, genting dan sebagainya. Tempat belajarnya bersifat sementara, yaitu memakai pendapa. Kayu diambil dari hutan yang ditebang untuk penanaman kopi. Guru-gurunya diambil dari kalangan penduduk sendiri, yang gaji mereka berupa sebidang tanah untuk digarap. Anak-anak duduk di lantai, sedangkan bagi anak-anak yang memiliki kewajiban menggembala kerbau, maka selama belajar (antara pukul 09.00-12.00 dan 13.00-15.00) kerbau-kerbau yang digembalakan dapat dilepas di sebidang tanah di sebelah tempat belajar yang dipagari. Dengan memperhatikan gambaran tersebut, maka dapat dibayangkan betapa sederhananya persekolahan yang disebut Volk School itu.
Walaupun nampaknya cukup baik tujuan didirikan bentuk-bentuk persekolahan di atas, namun dalam prakteknya, sekalipun tidak secara langsung, terdapat kecenderungan diskriminatif. Kecenderungan itu nampak dalam hal cara menyaring anak sekolah. Caranya ialah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, dan juga sering diutamakan bagi keluarga yang memiliki keturunan darah biru (darah ningrat, darah keraton) atau dari kalangan para “priyayi” (pangreh praja atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda). Oleh karena itu, bagi kalangan masyarakat bawah, maka hanya dari anggota masyarakat yang mampu atau kaya saja yang dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Bagi anggota masyarakat yang kurang berpunya atau miskin terpaksa tidak dapat memasukkan anak-anaknya ke sekolah, atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda di atas tidak murni hanya semata-mata untuk memberdayakan pendidikan masyarakat, melainkan justru untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level pendidikannya) untuk dapat direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi sebuah program ujian yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol, apalagi setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah untuk kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.

0 komentar:

Posting Komentar