Diterapkannya Politik Etis (Etische Politiek) di
awal abad ke- 20 M sering dianggap sebagai awal pangkal kondisi yang
membukakan kesadaran berbangsa bagi rakyat Indonesia.
Politik Etis kolonial Belanda ini awalnya tatkala dirumuskan
menimbulkan sikap pro dan kontra, baik di kalangan para intelektual,
politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di Belanda. Ada sebagian yang
menentang (dalam kadar yang cukup keras) di Parlemen Belanda, namun di
lain pihak ada yang mendukung program ini yang mereka anggap sebagai
sesuatu yang ‘manusiawi’ atau bahkan sebagai ‘kewajiban moral’ terhadap
rakyat Indonesia. Terlepas dari masalah pro dan kontra tersebut, setelah
Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato di Staten General pada tahun 1901,
maka mulailah berlaku Politik Etis tersebut di lapangan secara nyata.
Sebelum tahun 1901 politik Belanda semata-mata mementingkan tuntutan
ekonomi, yang karena itu penghisapan kekayaan terhadap Indonesia sama
sekali tidak memperhitungkan rakyat Indonesia. Dengan adanya pidato Ratu
Wilhelmina tersebut dimungkinkan ada keseimbangan antara unsur menjajah
dengan unsur memiliki ‘kewajiban moral’ itu.
Jabaran Politik Etis itu oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud
irigasi, edukasi dan emigrasi. Dukungan yang mula-mula muncul adalah
dari kalangan kapitalis dan industrialis Belanda yang pada hakekatnya
berkeinginan untuk memasarkan hasil industrinya sambil melakukan
perbaikan ekonomi rakyat Indonesia.
Perbaikan sosial yang nampak mulai ditanggapi antara lain dalam hal
pendidikan. Mengapa ini dilakukan ? Sebab, masalah pendidikan (edukasi)
hampir tidak tergarap dan memang sengaja tidak digarap sebelum Politik
Etis dicetuskan. Hal ini tergambar dalam tulisan Van Deventer dalam
majalah De Gids (1908) sebagai berikut: “Sampai pada waktu-waktu yang
terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan
penyempurnaan akal budi pekeerti bangsa Bumiputera. Asal pajak
dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan
rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah.”
Van Deventer, yang kemudian dijuluki “Bapak Pergerakan Etis”, merupakan
tokoh yang menempatkan kesejahteraan penduduk asli di atas
segala-galanya dan dia pula yang menempatkan dirinya sebagai penentang
kemiskinan di Jawa yang paling gigih dan menyerang praktek-praktek
pemerasan yang dilakukan Cultuur Stelsel dan penanam-penanam tebu. Untuk
itu, dimulailah usaha-usaha pendidikan itu. Pada tahun 1905, tahun
pemilihan di Belanda, Van Deventer dan kawan-kawannya menang dalam
Parlemen Belanda, yang karena itu mereka menjadi pemeran utama dalam
pembentukan kabinet. Seorang anggota partai Demokrat Liberal, D. Fock,
menjadi Menteri Jajahan. Dia bersedia memajukan dan meluaskan pendidikan
para pribumi. Usaha ini terdukung oleh saran dan konsep Snouck
Hurgronje, seorang profesor indolog di Leiden (1906) yang menyarankan
agar pemerintah kolonial Belanda memberikan pendidikan kepada elit
pribumi dalam tradisi yang paling baik dari Barat yang nantinya
diharapkan menjadi tokoh penting yang berpengaruh luas dalam masyarakat
Indonesia. Sementara itu pelaksana Politik Etis di bidang pendidikan
(edukasi) terutama adalah J.H. Abendanon (yang diangkat sebagai Direktur
Pendidikan di Hindia Timur pada tahun 1900). Dia dan isterinya banyak
memberikan rangsangan yang menimbulkan kesadaran kepadapara angkatan
muda Indonesia, antara lain pemuda Abdoel Moeis yang belakangan menjadi
pemimpin Sarekat Islam (SI) dan lewat korespondensi dia berhasil
mengobarkan semangat pemikiran Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara,
yang pada akhirnya merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah untuk kalangan
wanita di Indonesia.
Sesuai dengan semangat Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda
memperbanyak jumlah sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah
rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3
tahun yang kemudian dilanjutkan denmgan program Vervolg School (sekolah
Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Pemulaan sekolah semacam
ini lalu dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya, misalnya yang
dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah
yang jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman Belanda dan program
Algemeene Middelbare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas bagaimana kondisi yang nota bene
disemangati oleh Politik Etis di atas, di sini akan dituliskan, sebagai
contoh, bagaimana sebenarnya yang disebut Volk School (Sekolah Desa)
itu. Volk School digalakkan berdasar inisiatif Gubernur Jendral Van
Heutz. Dia menganggap jenis sekolah ini adalah sekolah yang lebih
sederhana dan lebih murah. Van Heutz berkenalan dengan asisten-residen
Ambarawa, De Bruin Prince, yang mendirikan 100 sekolah di berbagai desa
sebagai percobaan. Program pelajarannya meliputi membaca, menulis dan
berhitung dalam bahasa Jawa. Sementara itu juga diajarkan ketrampilan
tangan seperti membuat keranjang, pot, genting dan sebagainya. Tempat
belajarnya bersifat sementara, yaitu memakai pendapa. Kayu diambil dari
hutan yang ditebang untuk penanaman kopi. Guru-gurunya diambil dari
kalangan penduduk sendiri, yang gaji mereka berupa sebidang tanah untuk
digarap. Anak-anak duduk di lantai, sedangkan bagi anak-anak yang
memiliki kewajiban menggembala kerbau, maka selama belajar (antara pukul
09.00-12.00 dan 13.00-15.00) kerbau-kerbau yang digembalakan dapat
dilepas di sebidang tanah di sebelah tempat belajar yang dipagari.
Dengan memperhatikan gambaran tersebut, maka dapat dibayangkan betapa
sederhananya persekolahan yang disebut Volk School itu.
Walaupun nampaknya cukup baik tujuan didirikan bentuk-bentuk
persekolahan di atas, namun dalam prakteknya, sekalipun tidak secara
langsung, terdapat kecenderungan diskriminatif. Kecenderungan itu nampak
dalam hal cara menyaring anak sekolah. Caranya ialah dengan
memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, dan juga sering diutamakan
bagi keluarga yang memiliki keturunan darah biru (darah ningrat, darah
keraton) atau dari kalangan para “priyayi” (pangreh praja atau pegawai
dalam kantor pemerintah Belanda). Oleh karena itu, bagi kalangan
masyarakat bawah, maka hanya dari anggota masyarakat yang mampu atau
kaya saja yang dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan
yang cukup tinggi. Bagi anggota masyarakat yang kurang berpunya atau
miskin terpaksa tidak dapat memasukkan anak-anaknya ke sekolah, atau
paling tidak terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya memasukkan
anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa tujuan penyelenggaraan
sekolah yang dilakukan Belanda di atas tidak murni hanya semata-mata
untuk memberdayakan pendidikan masyarakat, melainkan justru untuk
menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level pendidikannya) untuk
dapat direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di pemerintahan kolonial
Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi
sebuah program ujian yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu sebuah
program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat
diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa
program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol,
apalagi setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School
voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang
dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah untuk kalangan pribumi.
Dengan demikian terdapat kesan kuat bahwa kegiatan pendidikan adalah
untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.
Sabtu, 26 November 2011
Politik Etis dan Kondisi Umum Indonesia pada Awal Abad ke-20 (1)
Posted by ardian_yukKemarii
19.36, under | No comments
0 komentar:
Posting Komentar