Permulaan abad ke-20 ada trend baru
pada kebijakan penjajahan, dorongan pada “balas budi”-nya negara
penjajah pada negara jajahan melahirkan kebijakan yang dinamakan
“politik etis”. Ricklefs mengungkapkan jika politik etis itu akarnya
merupakan dorongan pada masalah kemanusiaan sekaligus keuntungan
ekonomi. Penjelasan lanjut mengenai keterhubungan antara masalah
kemanusiaan dan keuntungan ekonomi bisa dilihat bagaimana investasi
Belanda maupun internasional di Indonesia dalam mengekplorasi
bahan-bahan mentah membutuhkan tenaga-tenaga kerja sehingga perlu
dihadirikannya pendidikan untuk menunjang kualitas sumber daya manusia.
Indonesia di tangan penjajah pada abad ke-20
dijadikan sebagai salah satu “lahan basah” pemuas kebutuhan ekonomi
dunia. Ada dua komuditas utama yang diekplorasi kala itu ; minyak bumi
dan karet. Sekitar tahun 1860-an, Belanda berhasil menemukan kandungan
minyak bumi di daerah Sumatera Utara, tepatnya di Langkat. Ekplorasi
minyak bumi kemudian menyebar di tempat lain di bumi nusantara, tepatnya
di bumi Kalimantan Timur pada tahun 1897 oleh gabungan perusahaan
Belanda yang dimodali Inggris yaitu Shell Transport and Trading Company. Kemudian
menyusul pada tahun 1920-an perusahaan-perusahaan Amerika Serikat
setelah mendapat konsensi-konsensi besar, perusahaan tersebut
diantaranya adalah Caltex (California Texas Oil Corporation) dan Stanvac (Standard Vacuum Oil CO.).
Pada tahun 1930-an, perusahaan Jepang pun tak mau ketinggalan dalam
mengekplorasi minyak bumi Kalimantan Timur dengan berdirinya Borneo Oil
Company di Kutai.
Komoditas utama kedua adalah karet. Pada tahun 1864, pohon karet ficus elastica dijadikan
sebagai tanaman perkebunan di Jawa Barat dan pesisir timur Sumatera.
Akan tetapi pemerintah kolonial justru melakukan percobaan penanaman
pertama dengan karet impor hevea brasiliensis pada tahun
1900-an dan percobaan tersebut berhasil. Pada tahun 1930 sekitar 44 %
tanah perkebunan di Indonesia ditanami karet, hasil karet Indonesia kala
itu mampu memenuhi hampir separuh dari kebutuhan karet dunia.
Pelaksanan politik etis di Indonesia lebih
menfokuskan diri pada area pendidikan, meskipun ada 3 prinsip yang
ditekankan dalam implementasi politik etis oleh pemerintah Belanda yaitu
; pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk. Ricklefs mengatakan
bahwa semua pendukung politik etis menyetujui ditingkatkannya pendidikan
bagi rakyat Indonesia. Kebijakan politik etis dalam segi pendidikan
melahirkan dua pandangan mengenai jenis pendidikan dan untuk siapa
pendidikan itu difasilitasi.
Pandangan pertama lahir dari Snouck Hurgronje
dan direktur pendidikan “etis” yang pertama J.H. Abendanon, yang
mendukung implementasi pendidikan bersifat elitis. Pendidikan yang
elitis disini adalah bagaimana pendidikan yang bergaya eropa dengan
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan pendidikan ini
difasilitasi untuk kaum elite Indonesia. Tujuannya adalah untuk
menciptakan “birokrat-birokrat” yang terdidik yang bisa berterimakasih
dan bersedia bekerjsama dengan pihak Belanda, memperkecil anggaran
pemerintah karena dapat mengambil alih pekerjaan yang ditangani oleh
“birokrat-birokrat” berkebangsaan Belanda, serta mengendalikan
“fanatisme” Islam. Pandangan kedua lahir dari Idenburg dan Gubernur
Jendral Van Heutsz, yang mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan
praktis dengan bahasa daerah sebagai pengantarnya dan untuk
golongan-golongan bawah.
Kebijakan politik etis berjalan pada mulanya
dibawah “kuasa” Abendanon yang menerapkan pendidikan bersifat elitis.
Tidak heran jika politik etis model ini hasilnya menjadi tidak efektif,
dalam sensus tahun 1930 menyebutkan orang-orang Indonesia kala itu yang
sudah “melek huruf” atau yang bisa membaca itu hanya sekitar 7,4 %.
Angka ini jelas sangat parah jika dibandingkan dengan negara jajahan
lain seperti Filipina yang dijajah Amerika Serikat, angka “melek huruf”
di Filipina pada tahun 1939 lebih dari 15 % dari penduduknya.
Dampak dari kebijakan “politik etis” dirasa
hingga saat ini, pola-polanya hampir sama hanya kemasannya saja yang
berbeda. Pendidikan saat ini terpecah persis seperti saat implementasi
politik etis Belanda, mereka para elite mendapatkan pendidikan yang
layak sedangkan rakyat biasa mendapatkan pendidikan ala kadarnya. Mindset
bahwa pendidikan akan melahirkan tenaga terdidik bukan melahirkan
pengusaha-pengusaha pribumi sampai saat ini masih tertanam kuat. Seperti
apa yang dikatakan Ricklefs bahwa kekayaan Indonesia dimanfaatkan untuk
kepentingan perusahaan-perusahaan asing, sedangkan industri-industri
pribumi tidak dikembangkan.
0 komentar:
Posting Komentar