Minggu, 30 Oktober 2011
POLITIK DAN PERPECAHAN UMAT ISLAM: LATAR BELAKANG SEJARAH
Posted by ardian_yukKemarii
03.33, under | No comments
Sejarah
dan Politik
Hampir semua sejarah bangsa-bangsa
yang ditulis di muka bumi ini menceritakan tentang raja-raja atau pemimpin yang
berkuasa. Dalam kesusasteraan bahasa Arab, misalnya, Ibnu Jarir At-Tabari (wafat
th. 310 H) menamakan karya besarnya dalam bidang sejarah dengan Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah rasul-rasul dan raja-raja).
Jalaluddin Al-Suyuti (wafat th. 911 H) menulis buku khusus tentang khalifah-khalifah
umat Islam dengan nama Tarikh al-Khulafa'
(Sejarah khalifah-khalifah). Ada yang mengatakan bahwa sejarah Nabi yang kita kenal dengan istilah Sirah Nabawiyyah pada mulanya ditulis dalam gaya
cerita-cerita Parsi. Kata sirah
itu digunapakai untuk menamakan kumpulan cerita mengenai tentang raja-raja Parsi. [1]
Dalam kesusasteraan bahasa Melayu, terdapat buku Sulalat al-Salatin yang kalau kita terjemahkan secara harfiah membawa maksud keturunan atau salsilah raja-raja (Sulalat
artinya: garis keturunan, salsilah, dan anak cucu. Salatin bentuk jamak dari Sultan- bermakna: raja-raja). Buku itu kini
dinamakan dengan Sejarah Melayu, The Malay Annals.
Bila
kita menyalin
nama buku-buku sejarah yang ditulis
oleh bangsa lain, maka ceritanya akan menjadi panjang. Tetapi pada
umumnya buku-buku tersebut
memuatkan kisah-kisah mengenai
raja-raja dan kebijaksanaan politik yang mereka ambil. Maka tidaklah
menghairankan sekiranya
ada yang berkata: Sejarah adalah
catatan tentang politik masa lalu, sedangkan politik masa kini akan
menjadi sejarah di masa
hadapan. Dan para pemimpin negara,
reka bentuk politik yang menentukan corak perjalanan pemerintahan
disebut orang dengan
pelaku sejarah.
Masyarakat kita telah
terbiasa menggunakan istilah Sejarah Islam
untuk menyebut cerita-cerita tentang
kerajaan-kerajaan yang dibangunkan
oleh masyarakat Islam di masa lalu, dan kerajaan yang dibangunkan oleh
umat Islam itu disebut Kerajaan Islam.
Sebenarnya penggunaan kedua-dua
istilah tersebut adalah kurang tepat
. Ini adalah kerana : Islam merupakan agama yang diwahyukan oleh Allah
swt. kepada Rasulullah
saw. yang telah sempurna sejak Rasul
wafat, sedangkan kerajaan-kerajaan tersebut merupakan hasil daripada
usaha manusia yang
memiliki banyak kekurangan. Islam
merupakan kebenaran yang mutlak, sedangkan kerajaan-kerajaan yang
dibangunkan oleh umat
Islam itu tidak selalunya benar.
Islam dijamin oleh Allah swt. sehingga Hari Kiamat, sedangkan
kerajaan-kerajaan tersebut
tegak dan runtuh silih berganti.
Jadi istilah yang lebih tepat adalah Sejarah Umat
Islam dan Kerajaan Umat Islam.
Perpecahan
Umat Islam
Jika
sejarah adalah cerita tentang politik di masa
lalu sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas sekiranya kalau pandangan tersebut kita terima maka
sejarah umat Islam adalah
sejarah perpecahan. Mungkin terasa
agak keterlaluan jika dikatakan sedemikian. Tetapi, masalah politik
merupakan sumber perpecahan
umat Islam yang terbesar, sehingga Al-Syahrastani (wafat th. 548 H) dalam
bukunya Al-Milal wa al-Nihal mengatakan:
wa azhamu khilafin bayna al-ummah khilafu al-immah, iz ma sulla sayfun fi al-Islam
ala qaidah diniyyah misla ma sulla ala al-immah fi kulli zaman.
( Dan perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan
mengenai imamah (kepemimpinan),
kerana tidak pernah pedang dihunus dalam Islam dengan alasan agama
sebagaimana (sesering)
dihunus karena imamah pada setiap
zaman). [2]
Masalah
imamah adalah masalah politik, masalah
menentukan siapa yang akan memimpin
umat. Walaupun sebenarnya perselisihan mengenai imamah itu sudah bermula
sejak Rasulullah
s.a.w. wafat, terutama antara
golongan Muhajirin dan golongan Anshar, tetapi ianya dapat diselesaikan
dengan damai, iaitu
dengan mengangkat Abu
Bakar menjadi khalifah. Sejak terbunuhnya Usman bin Affan
(tahun 35 H) sehingga ke hari ini
umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua pihak.
Setiap kelompok mempunyai
pemimpinnya tersendiri dan tidak
mengakui pemimpin dari kelompok lain. Terbunuhnya Usman itu sendiri
sebenarnya disebabkan
oleh masalah politik juga. Kelompok
pemberontak yang tidak senang dengan para
gabenor yang diangkat oleh Usman dan
kebijaksanaannya menuntut agar khalifah ketiga itu meletakkan jawatan,
tetapi Usman enggan
melakukannya. Keengganan Usman
melakukan tuntutan kelompok tersebut membuat mereka marah dan akhirnya
Usman terbunuh di rumah
ketika sedang membaca Al-Qur`an.
[3]
Kematian Usman menjadi titik tolak bagi perpecahan
umat Islam. Al-Baghdadi (wafat th. 429 H) dalam bukunya Al-Farq bayna al-Firaq mengatakan: Tsumma ikhtalafu bada qatlihi fi qotilihi wa khozilihi ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza .
(Kemudian mereka
(para shahabat) berselisih setelah
terbunuhnya (Usman) dalam masalah orang-orang yang telah membunuhnya dan
orang-orang yang
membiarkannya terbunuh, perselisihan
yang kekal (berbekas) sampai hari (zaman)kita ini). [4]
Perang saudara pun
mulai bersemangat. Perang pertama yang terjadi adalah perang unta (perang jamal) tahun 36H. Antara kelompok yang dipimpin oleh Aisyah r.a, isteri Rasul saw, yang menuntut bela
atas kematian Usman, dengan kelompok Ali bin Abi Talib yang diangkat
menjadi khalifah
sesudah Usman. Kelompok pemberontak
setelah membunuh Usman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya kelompok
Aisyah dan kelompok
Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut
agar Ali menegakkan hukum terhadap mereka. Tetapi Ali tidak dapat
melaksanakan tuntutan itu.
Hal ini menyebabkan krisis politik
yang berpanjangan.
Masalah politik merupakan
punca yang disebut dengan al-Fitnah al-Kubra (bencana besar) di kalangan umat Islam.
Umat Islam berpecah kepada tiga kelompok:
Pertama: kelompok Ali, kedua: kelompok Muawiyah, dan ketiga: kelompok
moderat/neutral yang tidak memihak kepada salah satu dari dua kelompok tersebut. Dua
kelompok pertama memiliki pengikut
yang banyak, sedangkan kelompok moderat kerana tidak ikut campur dalam
masalah politik
maka jumlahnya tidak diketahui,
tetapi kelompok ini merupakan majoriti umat, di antara para sahabat yang
bergabung di dalam
kelompok moderat ini adalah:
Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Saad bin Malik, Saad bin Abi Waqqas,
Muhammad bin Maslamah, Usamah
bin Zaid, dan lain-lain. [5]
Pertentangan antara
kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan membawa kepada terjadinya perang Siffin.
Setelah kelompok Muawiyah hampir
kalah, mereka mengajak untuk bertahkim (arbitrate) bagi menyelesaikan
konflik yang terjadi.
Perundingan (tahkim) dilaksanakan di Daumatul
Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash (wafat th.43 H) dan kelompok Ali diwakili
oleh Abu Musa Al-Asy'ari (wafat th. 44 H). Kedua-duanya bertindak
sebagai hakim
dari kelompok masing-masing .
Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan jujur. Amru
membuat tipuan terhadap
Abu Musa dengan mengatakan bahawa
konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh dua orang, iaitu Ali dan
Muawiyah, maka untuk
menciptakan perdamaian kedua orang
itu harus dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk
memilih khalifah baru.
Tipuan itu berhasil. Amru memberikan
kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar; Abu Musa
mengumumkan pemecatan
Ali. Sesudah itu Amru naik mimbar
pula, ia menerima pemecatan Ali dan kerana Ali sudah dipecat khalifah
tinggal seorang sahaja
lagi, iaitu Muawiyahia menetapkan
Muawiyah sebagai khalifah umat Islam seluruhnya. Tentu saja kelompok Ali
tidak puas hati.
Perundingan
tersebut bukan saja tidak menyelesaikan
konflik, tetapi malah menimbulkan
kelompok baru. Kelompok Ali terpecah menjadi dua; Pertama, yang tetap
setia kepadanya (belakang
hari disebut syiah); Kedua, yang
memberontak, keluar dari kelompok Ali dan berbalik menjadi musuhnya,
karena tidak puas dengan
keputusan Ali untuk mengikuti
perundingan diatas (kelompok ini disebut Khawarij). Kelompok ini pada
mulanya memaksa Ali untuk
ikut bertahkim, tetapi setelah Ali
menerima tahkim mereka menolaknya; Mereka memakai semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata). [6]
Kini
kelompok yang
bertikai dalam masalah politik
menjadi tiga; kelompok Muawiyah, kelompok Ali dan kelompok Khawarij.
Kelompok terakhir ini
mengkafirkan kelompok Pertama dan
Kedua, mereka menghalalkan darah orang Islam yang tidak sependapat
dengan mereka. Mereka
memerangi kelompok Pertama dan
Kedua, mereka mengirim utusan rahsia untuk membunuh Ali, Muawiyah dan
Amru bin Ash. Muawiyah
dan Amru selamat dari pembunuhan,
sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam pada tahun 40
H.
Kematian
Ali membuat
pengikutnya kesedihan. Hasan, Putra
Ali pertama, diangkat menjadi khalifah menggantikan ayahnya. Hasan
melihat bahwa pertentangan
politik ini hanya akan merugikan
umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu dia mengadakan perdamaian
dengan Muawiyah,
untuk menjaga agar darah kaum
Muslimin tidak tertumpah lebih banyak lagi. Hasan meletakkan jawatan
pada tahun 41 H dan menyerahkan
kekuasaan kepada Muawiyah. Hasan
meminta agar Muawiyah menyerahkan urusan khilafah kepada kaum Muslimin
bila ia meninggal
nanti. Hasan juga meminta agar
kelompok Muawiyah berhenti menghina Ali di dalam khutbah-khutbahnya.[7] Gerakan perdamaian ini disokong oleh masyarakat
Islam, sehingga tahun itu disebut sebagai Tahun Persatuan ('am al-Jama'ah).
Tetapi perjanjian tersebut tidak
ditepati kemudiannya. Hasan meninggal di Madinah kerana terkena racun
pada tahun 50 H. Kelompok
Syiah menabalkan Husein, putra Ali
kedua, menjadi khalifah.
Sebelum
Muawiyah meninggal
(tahun 60 H) ia menabalkan putranya
Yazid sebagai putra Mahkota untuk menggantikannya. Hal itu membuatkan
bukan saja kelompok
Syiah marah tetapi
juga seluruh kaum Muslimin; kerana jelas melanggar perjanjian
damai yang telah dipersetujui dengan
Hasan tempo hari. Namun begitu, kaum Muslimin tidak dapat berbuat
apa-apa, kerana Muawiyah
memerintah dengan kuku besi. Di
zaman Yazid (memerintah tahun 60 s/d 64 H) permusuhan kelompok Umawi
terhadap Syiah semakin
menjadi-jadi. Kelompok Syiah
diperangi habis-habisan. Husein terbunuh di Karbala
(10 Muharram th. 61 H) dalam
pertempuran yang tidak seimbang. Kepalanya dipenggal dan dibawa ke
hadapan Yazid sebagai persembahan.
Bani Umayah tampil menjadi kekuatan
yang tidak dapat ditandingi.
Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah
Penguasa
demi penguasa
di kalangan Bani Umayah terus
berganti, tetapi pertentangan di antara kedua kelompok tadi tidak juga
reda. Ali dan pengikutnya
terus dihina di setiap mimbar.
Kelompok Syiah membalas dan menghina Kelompok Bani Umayah. Sementara itu
kelompok Khawarij
tetap melaksanakan kegiatan mereka.
Di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima Bani
Umayah, memerintah tahun
65 s/d 86 H) usaha untuk membina
persatuan di buat semula. Abdul Malik walaupun menghadapi berbagai
pemberontakan, dia berusaha
mempersatukan umat Islam yang sudah
berpecah belah kepada berbagai kelompok dan puak, khususnya setelah
Abdullah bin Zubeir
(khalifah tandingan di Mekah)
terbunuh pada tahun 73 H. Dia menggunakan slogan Nahnu
Jama'ah Wahidah Tahta Rayah Dinillah (kita semua adalah satu jamaah dibawah naungan bendera agama Allah). Abdul Malik
juga mengadakan konsep tarbi',
iaitu dengan menyebut nama empat khalifah:Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali di dalam
khutbah-khutbah. Konsep ini merupakan kaedah untuk mempersatukan umat
Islam juga. Sebelum ini
kelompok Umawi hanya mengakui Abu
Bakar, Umar, Usman dan Muawiyah, tetapi mereka tidak mengakui Ali.
Manakala Kelompok Khawarij
hanya mengakui Abu Bakar, Umar;
sedangkan kelompok Syiah hanya mengakui Ali saja dengan alasan
masing-masing. Setiap kelompok
menghina kelompok lain di
mimbar-mimbar dan mendoakan keselamatan bagi pemimpin mereka. Kelompok
Umawi merelakan nama Muawiyah
tidak disebut dalam tarbi itu,
sebagai pengorbanan dari mereka demi persatuan umat.
Untuk
memperkuatkan
usaha persatuan tersebut, maka
seluruh umat Islam diseru agar menjadikan Rasul s.a.w sebagai satu
rujukan yang unggul. Kerana Rasul s.a.w sudah wafat, maka sunnah beliaulah yang mesti dijadikan sebagai
rujukan. Abdul Malik mendapat sokongan dari masyarakat Islam.
Di antara tokoh
kelompok Moderat yang masih hidup
dan menyokong Abdul Malik adalah Ibnu Umar (wafat th. 74 H). Umat Islam
yang menyokong persatuan
ini disebut Ahlu Al-Jama'ah Wa al-Sunnah, kemudian
ada proses pembalikan sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin sehingga menjadi Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah. [8]
Jadi, baik konsep
tarbi' yang sampai hari ini sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin --demikian juga dengan mendo'akan pemimpin
yang berkuasa-- pada khutbah-khutbah Jumaat, mahupun istilah Ahlus Sunnah
Wal Jamaah, sebenarnya lahir dari proses sejarah yang bertujuan untuk mempersatukan umat yang sudah berpecah belah. Oleh kerana itu, sering kita terjumpa bahawa kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah
sentiasa berusaha untuk mempertemukan aliran pemikiran berbagai kelompok yang
saling bertentangan.
Tetapi
usaha untuk
mempersatukan umat itu tidaklah
berhasil sebagaimana yang diharapkan, persaingan antara kelompok tetap
juga berjalan. Kelompok
Syiah, misalnya, tetap tidak dapat
bergabung dalam persatuan itu; sebab menurut keyakinan mereka hak untuk
memegang jawatan
khalifah hanyalah untuk Ali dan
keturunannya. Kerana jamaah tadi merupakan inisiatif dari kelompok Umawi
yang sememangnya
adalah musuh politik mereka, itulah
sebabnya kelompok Syiah sampai hari ini tetap
tidak bersimpati kepada kaum Muslimin dari golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Mereka
menganggap Ahlussunnah Wal-Jamaah
hanyalah penyokong dan merupakan tali barut dari kelompok Umawi.
Tanpaknya dendam kelompok
syi'ah terhadap kelompok umawi tidak
kesampaian, kerana mereka sudah punah ditelan zaman; jadi golongan
Ahlus-Sunnah Wal-jama'ahlah
yang menerima padahnya.
Belajar
dari Sejarah
Masalah politik telah
menyebabkan umat Islam berpecah-belah dalam
berbagai kelompok dan puak-puak.
Perpecahan politik juga terpengaruh
kepada perselisihan di dalam bidang Akidah, Syariah, dan tidak
ketinggalan juga kepada
perkembangan Hadith, Tafsir,
Tasawuf, dan sebagainya. Sejauh mana pengaruhnya terhadap bidang-bidang
tersebut akan kita bahas
pada kesempatan lain. Tetapi sebelum
menutup tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa perpecahan politik
umat Islam di Malaysia
ini, sehingga sebahagian menghina
yang lain di mimbar-mimbar bahkan ada yang mengkafirkan sesama Muslim,
sebenarnya hanyalah
proses pengulangan sejarah yang
tidak perlu dilakukan.
Umat
Islam di negara ini perlu menyedari bahwa
pertengkaran itu hina. Perbezaan
organisasi politik dan keagamaan hendaklah tidak dijadikan untuk saling
menghina dan memusuhi,
tetapi dimanfaatkan sebagai sarana
untuk berlumba-lumba bagi membuat kebajikan demi kemajuan umat dan
negara (Q.S.2:148).
Apa yang akan dilihat oleh Allah swt
bukanlah organisasi yang kita miliki, tetapi adalah aktiviti (amal)
yang kita lakukan
(Q.S.9:105). Rasul bersabda: Sebaik-baik
manusia adalah orang yang memberi manfaat bagi orang lain. Tentangan yang akan dihadapi di masa hadapan sangatlah berat.
Kerana itu persatuan dan kerjasama (amal jamai)
perlu diwujudkan. Persatuan yang
dimaksudkan tidak bererti
membubarkan organisasi-organisasi yang sudah ada, tetapi mesti ada
perancangan bersama yang akan
dilakukan oleh semua pihak dan
setiap kelompok berusaha mewujudkannya untuk kemajuan umat. Oleh kerana
itu perlu ada dialog
(musyawarah) antara golongan untuk
membicarakan agenda bersama tadi.
Kerana pertikaian politik di kalangan umat Islam negara ini sudah meruncing, maka
harus ada kelompok Moderat yang mempunyai inisiatif untuk mengadakan dialog tersebut. Kelompok Moderat ini hendaknya dipelopori oleh para pemuda dari berbagai organisasi.
Ini adalah disebabkan masa depan bangsa berada di tangan para pemuda hari ini. Wallahu alam.
0 komentar:
Posting Komentar